Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Mengecoh, Debat Capres Antiklimaks!

"DEBAT capres di televisi malam Jumat antiklimaks bagi penonton!" ujar Temin. "Jadi dialog ewuh-pakewuh, seperti dua menko (SBY dan JK) bicara di depan presiden--Mega!"
"Bahkan JK keceplos 'Saya sekarang masih wakil presiden!' saat diminta menanggapi uraian SBY!" sambut Temon. "Gaya ketiga capres tidak klop dengan saat kampanye di depan massanya, yang cenderung saling menyerang pesaing!"
"Jauh saling serang, jumpa saling melengkapi?" timpal Temin. "Ada apa di balik antiklimaks itu?"

"Ternyata format debat tanpa perdebatan itu hasil kesepakatan KPU dengan tim sukses ketiga capres! (Kompas, 20-6) Jadi, antiklimaks itu justru sesuai skenario! Nyatanya, lembaga pengelola demokrasi dan para aktor belum siap memainkan demokrasi sesungguhnya! Baru main secara formalistik--debat sekadar memenuhi ketentuan formal, tidak mempertajam dan memperdalam pemahaman terhadap esensi materi kampanye untuk dinilai publik pemilih! Esensi debat itu justru disisihkan!"

"Kalau begitu, berarti KPU bersama tim sukses ketiga capres secara sengaja mengecoh publik!" tukas Temin. "Apakah secara etika-moral tim-pemimpin itu patut mengecoh rakyat pemilih?"
"Tak ada pasal untuk pengecohan di UU Pilpres!" tegas Temon. "Soal pengecohan elite pada rakyat, tak hanya saat kampanye! Bahkan pembangunan selama 40 tahun ini juga pengecohan!"
"Gile lo!" potong Temin. "Apa buktinya!"
"Buktinya pada Rasio Gini yang terus menanjak, sebagai petunjuk ketimpangan pendapatan terus melebar!" tegas Temon. "Menurut Mudrajat Kuncoro, guru besar ekonomika dan bisnis UGM, 1971 Rasio Gini Indonesia 0,18, naik menjadi 0,24 pada 1997--menyulut multikrisis menjatuhkan Orde Baru! (investorindonesia.com, 19-5-2008, 23:29:35 WIB).

Orde Reformasi ternyata lebih parah, hanya dalam 10 tahun, pada 2007 Rasio Gini Indonesia menjadi 0,37." (Gajah Kusumo & Dewi Astuti, Bisnis Indonesia, 19-8-2008)
"Maksudnya semakin tinggi angkanya kian lebar pula ketimpangan pendapatan?" sela Temin.
"Betul! Artinya, selama 40 tahun pembangunan, ketimpangan pendapatan meningkat lebih dua kali lipat! Apa dengan begitu pembangunan tidak mengecoh rakyat?" entak Temon. "Rasio Gini itu standar Bank Dunia, skor 0 sampai 1, tapi tak boleh melampaui 0,5 sebagai limit terparah! Kita semakin mendekati limit itu!"
"Seperti apa wujud ketimpangan itu?" kejar Temin.

"Contoh, 40% penduduk berpendapatan rendah 2002 mendapat kue nasional (PDB) 20,82%, pada 2007 tinggal 19,1%. Lalu 40% warga kelompok menengah dari 38,89% turun jadi 36,11%. Sedang 20% kelas atas, naik dari 42,2% jadi 44,8%," jelas Temon. "Jadi, pembangunan selama ini mengecoh rakyat, yang miskin kian melarat, sedang elite--yang selalu mendahulukan kepentingan dirinya--tambah makmur drastis!" ***

0 komentar: