Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Mencari Solusi Seasembada Sapi!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 25-08-2020
Mencari Solusi Swasembada Sapi!
H. Bambang Eka Wijaya

ERA Orde Baru Pak Harto membuat ranch di Tapos, menyilangkan pejantan sapi "Berangus" asal Australia dengan sapi induk lokal. Saat Pak Harto lengser, sekitar 2.000 ekor bibit sapi hasil persilangan sudah dibagikan ke daerah-daerah dengan label "Sapi Banpres".
Dengan kegiatan di Tapos, upaya swasembada sapi waktu itu hampir terwujud. Kini jejak Sapi Banpres itu susah dicari. Bahkan sapi Brangus tak ada lagi di Tapos.
Di era reformasi, Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) mencanangkan program swasembada sapi dengan menyetop impor sapi bakalan. Ternyata sapi lokal belum cukup untuk itu. Akibatnya, sapi-sapi betina bunting pun dipotong. Harga daging sapi langsung melonjak dari kisaran Rp35.000/kg jadi lebih Rp100.000, menyulut krisis daging impor.
Jalan keluarnya, impor sapi bakalan dibuka lagi. Tapi harga daging sapi, yang terlanjur tinggi sukar diturunkan hingga hari ini.
Namun, tetap perlu dicari solusi program swasembada sapi, agar tidak sampai akhir zaman kita terus mengimpor sapi.
Keluhan pengusaha untuk membuat ranch sapi seperti di Tapos, adalah sulitnya mencari tanah yang luasnya cukup untuk itu. Utamanya karena melihat di Australia, beternak sapi tidak pakai kandang, tapi dilepas cari makan sendiri di savana yang luas. Penggembalanya cukup beberapa orang saja untuk ribuan sapi, dibantu anjing-anjing gembala yang terlatih. Dengan begitu biaya beternak sapi di Australia sangat murah, sehingga biaya produksi daging sapi juga rendah, sekarang bisa setara di kisaran Rp30.000/kg.
Untuk mencari savana seperti di Australia itu di Indonesia mungkin sukar, kalau pun ada harga tanahnya mahal sekali. Karena itu, perlu cara lain untuk mencapai solusi swasembada sapi.
Cara yang paling mungkin, mendayagunakan pengusaha penggemukan yang mengimpor sapi bakalan untuk tidak mengirim ke rumah potong semua sapinya. Tapi menyisihkan 0,5% dari sapi yang diimpornya untuk digaduhkan pada petani sekitar kandang miliknya.
Dengan 0,5% tetap dipelihara dengan pola gaduh itu, kalau setahun impor sapi 500 ribu ekor, berarti disisakan 2.500 ekor per tahun (lebih banyak dari Sapi Banpres). Dengan pola gaduh sejak bakalan, berarti anak pertama sapi buat petani pemelihara, anak kedua dan seterusnya bagi dua.
Kalau itu dilakukan konsisten, pada suatu saat pengusaha livestock tidak lagi mengimpor sapi, tapi cukup dengan memanen anak-anak sapinya yang digaduhkan kepada petani. Pada saat itu, swasembada sapi sudah terwujud. ***


0 komentar: