Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Operasi Jantung, Dokter Vs Montir!

PRIA berusia 50-an memijit tombol merah di atas kepalanya begitu lampu safety belt padam tanda proses take off pesawat selesai. "Mau apa Bapak?" tanya penumpang di sisinya. "Memanggil pramugari untuk diambilkan air minum!" jawab pria. "Aku harus segera minum!" "Bapak ada jantung rupanya?" tanya penumpang. "Tentulah ada jantung!" entak pria. "Kalau tak ada jantung, manusia mana bisa hidup!" "Maksud saya sakit jantung!" jelas penumpang. "Sakit jantung, ada! Tapi belum parah!" jawab pria. "Baru dua kali operasi!" "Dua kali operasi jantung? Itu Bapak bilang belum parah?" entak penumpang. "Membayangkan dirinya dioperasi jantung saja orang-orang lain sudah ketakutan bukan kepalang!" 

"Ketakutan seperti itu berlebihan!" tegas pria. "Jantung manusia itu tak beda dengan karburator mobil! Ada yang rusak dibongkar, onderdilnya aus diganti! Bahkan, manusia lebih fleksibel dari mobil! Kalau dokter mengoperasi atau membongkar jantung manusia dia kerjakan dengan menjaga manusianya tetap hidup! Sedang kalau montir, membongkar karburator harus mematikan mesin mobilnya! Tak ada montir mampu membongkar karburator dengan mesin mobilnya tetap hidup!" "Jadi menurut Bapak, manusia sebenarnya justru lebih fleksibel dari mobil?" timpal penumpang. "Betul!" tegas pria. "Maka itu, tak perlu takut pada operasi jantung atau onderdil yang mana pun dalam tubuh kita saat diharuskan!" 

"Tak semua yang mengalami operasi jantung ketakutan, seperti yang dirasakan sebelumnya bisa hilang seperti Bapak!" timpal penumpang. "Tetanggaku, usai operasi jantung meminta semua orang yang dijumpainya untuk berhenti merokok sembari mengisahkan betapa ngerinya dioperasi jantung!" "Itu biasa terjadi pada orang yang dioperasi setelah lebih dahulu kena serangan jantung!" tegas pria. "Bahkan, kalau yang sempat lebih dahulu kena serangan jantung, bisa serbasalah!" "Seperti partai berkuasa yang mendapat serangan jantung?" timpal penumpang. "Kalau itu salah metaforis!" tukas pria. "Karena fungsi partai dianggap sekadar alat meraih kekuasaan, mereka metaforakan seperti mobil: onderdil yang rusak langsung dicopot dan dibuang ke tempat sampah—seperti Nazaruddin! Padahal partai sarana ekspresi dan aktualisasi kapasitas manusia, partai harus dimetaforakan seperti manusia, sebagai lembaga pengekspresi kasih sayang lebih-lebih terhadap sejawat—ini tak tecermin dalam kasus Nazaruddin! Lebih buruk lagi, sejawat yang mendapat nasib malang malah disingkirkan, diperlakukan selayak najis!" ***

0 komentar: