Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

‘Semprul van Susur’, Akhir Genius Lokal!

"SAAT nenek wafat, Bedul paling sedih! Ia terisak di pojok, seolah tanpa nenek dunia kiamat!" ujar Umar. "Belakangan diketahui, sepeninggal nenek, Bedul ketiadaan sumber semprul untuk rokok lintingan kelobotnya!" "Semprul itu apa?" tanya Amir. "Semprul itu bekas susur, gumpalan tembakau yang dipakai nenek memoles mulut saat makan sirih!" jelas Umar. "Tembakau basah bekas susur nenek itu, sehari empat atau lima gumpal, oleh Bedul dikumpul dan dijemur! Setelah kering, dia linting dengan kulit jagung jadi rokok khas kelangenannya! Rokok semprul lintingan kelobot itu ia masukkan kotak rokok mewah 555, sehari-hari ia bawa dalam saku bajunya!" "Waduh, nenek mungkin pemakan sirih terakhir yang memakai susur dengan gumpalan tembakau besar!" timpal Amir. "Pemakan sirih masih banyak, tapi pakai suntil, tembakau penggosok bibir dan giginya kecil, tak sebesar ujung kelingking!"

"Maka itu, wafatnya nenek mengakibatkan Bedul tak bisa lagi membuat rokok lintingan semprul!" tegas Umar. "Dengan begitu, bukan saja Bedul ketiadaan rokok yang bisa memuaskan seleranya, karena menurut dia kalau terbiasa mengisap lintingan semprul, rokok buatan pabrik terasa hambar, tapi juga menjadi akhir dari genius lokal pemanfaatan limbah susur!" "Menjurus berakhirnya berbagai kebiasaan warga yang merupakan genius lokal memang sedang menggejala!" tukas Amir. "Salah satunya tradisi rewang, tetangga dan kerabat memasak bersama untuk hidangan pesta keluarga, kini mulai pudar digeser oleh bisnis katering! Juga tradisi derep, tetangga dan kerabat membantu memanen padi dan diberi bagian bawon, sekarang digeser buruh sabit-banting yang bekerja secara upahan!" "Memang semakin banyak pekerjaan produk genius lokal yang berorientasi memperkokoh kebersamaan warga tergeser oleh jasa upahan!" sambut Umar. 

"Hal itu menjadi petunjuk sedang berlangsung perubahan sosial dalam masyarakat, mungkin dari masyarakat paguyuban menjadi masyarakat patembayan—bergeser dari pola gotong-royong kekeluargaan ke pola komersial!" "Pola komersial lebih menguntungkan pemodal!" tegas Amir. "Sedang warga kebanyakan yang dalam paguyuban kebagian nikmat, keluarganya ikut makan daging saat ikut mengolah, dalam pola komersial cuma kebagian sialnya—baru ikut makan daging saat datang sebagai undangan!" "Lebih sial lagi, tetangga dan kerabat saat panen biasanya dapat bawon, kini jadi tak dapat apa-apa!" entak Umar. "Sedih nian, tergesernya tradisi mengurangi jenis saluran rezeki!" ***

0 komentar: