Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Menaikkan BBM, Menyayat IPM!

"PACUAN kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok selalu mendahului rencana kenaikan harga BBM, bahkan saat kebijakan penaikan harga BBM-nya sendiri belum jelas bentuk, besaran, maupun kompensasinya!" ujar Umar. "Itulah yang terjadi kembali sejak pekan ini, menyayat pilu perasaan rakyat yang selalu gagal menggapai kesejahteraan yang ditabur dalam janji manis penguasa!" "Anehnya penguasa bisanya cuma mengulang dan mengulang lagi kebijakan serupa, yang terbukti gagal mengantarkan rakyat mencapai kehidupan sejahtera, kebijakan yang tak bisa mengurangi pilunya penderitaan dengan kompensasi yang sungguh jauh dari pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat!" timpal Amir. "Pokoknya kemampuan penguasa cuma sebatas begitu-begitu saja, lalu mengklaim berhasil membawa negara-bangsa ini maju! Maju ke mana, kalau masalah dan cara mengatasinya masih sama, itu-itu juga, begitu-begitu juga!"

"Sebaliknya, kehidupan rakyat serbakekurangan yang berlarut-larut itu diulang-ulang penguasa dari waktu ke waktu, rakyat jelata diperlakukan seperti baterai yang tak pernah di-charge penuh, kondisi fisik dan mentalnya pun makin soak saja!" tegas Umar. "Itu tampak di indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang justru merosot dari peringkat 109 menjadi peringkat 124 dari 187 negara di dunia pada 2012! (Pikiran Rakyat Online, 3-3-2012) Artinya, semakin sok pintar penguasa beretorika bahwa kebijakan menaikkan harga BBM ini merupakan pilihan terbaik bagi rakyat, maka semakin pedih pula perasaan rakyat tersayat oleh realitas penderitaan yang semakin pilu!" "Dengan standar universal IPM itu sebagai ukuran maju-mundur atau naik turunnya kualitas bangsa, arti kenaikan BBM tak bisa hanya diukur dengan pengaruhnya pada kenaikan harga kebutuhan yang menyongsong dan mengikutinya kemudian!" timpal Amir.

 "Tak boleh dilupakan ekses kenaikan harga barang-jasa pada pendidikan, kesehatan, dan tekanan mental sosial ekonomi yang kian berat dipikul rakyat! Ini jelas tak cukup sekadar diukur dengan persentase dan nilai rupiah akibat kenaikan BBM pada barang dan jasa!" "Tepatnya, tidak memadai lagi penggunaan ukuran materialistik-kuantitatif semata dalam menghitung ekses kebijakan terhadap kehidupan masyarakat!" tegas Umar. "Bukan pula cuma dilengkapi dengan pengukuran kualitatif, tapi tak boleh dikesampingkan pedihnya perasaan rakyat yang memikul beban kebijakan! Melupakan perasaan rakyat berarti memimpin tanpa nurani!" ***

0 komentar: