Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Tradisi Kritik Belum Terbentuk! (2)

"SISI lemah sebagai kendala utama terbentuknya tradisi kritik justru pada penyampaian kritik!" ujar Umar. "Kritik disampaikan lebih menonjolkan emosionalitas ketimbang rasionalitas, menuding tanpa argumentasi memadai ketimbang mengurai masalah secara jernih untuk menunjukkan kelemahan atau kesalahan objek yang dikritik! Lalu, diboboti pemaksaan kehendak sepihak ketimbang membuka ruang untuk diskusi mencari alternatif solusi secara bersama-sama!" "Hal itu mudah dipahami karena sepanjang Orde Baru rakyat dibungkam, tak kenal kritik!" sambut Amir. "Sedang reformasi itu sendiri, secara nyata merupakan paduan pekik perjuangan mahasiswa dengan amuk massa (kerusuhan Mei '98) yang tersimpul sebagai people power meruntuhkan Orde Baru! Kritik emosional lewat unjuk rasa itu merupakan metamorfosis dari amuk massa yang diformat dalam kerangka—seolah-olah—sebagai pelaksanaan demokrasi perwakilan!" 

"Pseudomatika—keseolah-olahan—demokrasi perwakilan itu terkesan kuat, dengan lembaga-lembaga representatif hasil pilihan rakyat yang menjadi tumpuan demonstran!" tegas Umar. "Namun, hakikat dari perwakilan atau malah kerakyatan itu sirna saat para pemimpin hasil pilihan yang menampung aspirasi rakyat itu mengambil keputusan lebih berorientasi pada kepentingan kelompok elitenya! Perbandingan anggaran publik yang selalu lebih kecil dari anggaran rutin atau biaya operasional lingkungan kerja elite, membuktikan hal itu!" "Celakanya, terkait dengan usaha mendahulukan kepentingan kelompoknya itu, kalangan elite tak segan mengenyampingkan usul dan kritik massa yang ditampungnya!" timpal Amir. "Untuk itu, elite berwajah ganda! Di depan massa mereka sok pahlawan memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi dalam praktek selalu lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompok elitenya semata!" "Semua sisi lemah massa dalam penyampaian kritiknya dimanipulasi elite seolah-olah proses demokrasi perwakilan telah berjalan dengan baik, justru untuk mengelak dari kritik kelompok kritis seperti dari kubu intelektual, pers, dan LSM!" tutur Umar.

 "Alhasil, elite dan kelompok penguasa yang pada dasarnya masih antikritik, menjadikan kritik emosional dari massa yang seolah-olah telah diakomodasi itu sebagai alasan mengelak untuk committed pada kritik yang sebenarnya—dari kubu intelektual, pers, dan LSM!" "Dengan demikian, suatu tradisi kritik yang efektif masih perlu waktu lagi untuk bisa terbangun secara ideal!" tegas Amir. "Kondisi ideal tradisi kritik itu baru terbangun kelak setelah pendidikan mampu mencetak massa kritis dalam jumlah besar sehingga bobot kritik massa lebih rasional ketimbang emosional, mampu menekan perilaku elite yang selalu mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya semata!" ***
==============================
Pembaca, Buras ini pernah dimuat 5 September 2009. 
Dimuat kembali karena penulis H. Bambang Eka Wijaya berhalangan sakit. ==============================

0 komentar: