"DARI berbagai dialog di televisi diketahui dalam APBN 2012 terdapat lebih Rp400 triliun anggaran belanja terkait priviledges—hak-hak istimewa—para pejabat!" ujar Umar. "Namun dalam proses pembahasan RAPBNP 2012 tumpukan dana itu sama sekali tak dilirik! Padahal, pengurangan 10% saja dari belanja elite itu sama dengan hasil dari penaikan harga BBM jadi Rp6.000/liter! Yakni, jika harga BBM naik jadi Rp6.000/liter subsidi BBM Rp137 triliun, kalau tak naik subsidinya Rp178 triliun!"
"Jadi tampak, elite selalu lebih mengutamakan pengamanan ajang kepentingannya hingga tak boleh diganggu sedikit pun, dengan memilih kebijakan mengorbankan rakyat yang harus menanggung beban kenaikan BBM 33%!" timpal Amir. "Bagi kaum buruh dan pekerja kelas bawah di luar kelompok 74 juta warga miskin penerima BLT (sekarang BLSM), jumlahnya bisa mencapai 50% penduduk. Beban dampak kenaikan harga BBM 33% yang ditimpakan ke pundak mereka itu jelas amatlah berat untuk dipikul!"
"Itu akibat elitenya terlalu liberal-individualistik, hanya mengutamakan kenikmatan diri pribadi dan kelompok elitisnya semata, solidaritasnya kepada rakyat jelata minim sehingga dengan mudah mereka korbankan rakyat sebagai tumbal bagi kebijakan yang mereka buat!" tegas Umar. "Padahal, andai belanja priviledges mereka dikurangi 10%, tak terasa karena hanya bunga bank limpahan simpanan mereka masih lebih besar untuk substitusinya! Tapi keserakahan memang sukar dikendalikan, apalagi dengan kekuasaannya bisa dengan mudah mengorbankan kaum lemah!"
"Cara hidup kaum elite sedemikian menimbulkan kemiskinan struktural, suatu kemiskinan akibat elite selalu menindas dan mengorbankan lapisan sosial pada struktur di bawahnya yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politik!" timpal Amir.
"Mobilitas sosial dari lapisan bawah naik ke kelas menengah kebanyakan sebagai produk nepotisme dan dinamika politik! Kalaupun ada sebagai buah kerja keras, jumlahnya terbatas!" "Kelas menengah produk nepotisme dan dinamika politik itu amat rapuh dan tergantung pada aneka fasilitas, di antaranya subsidi BBM dan listrik!" tukas Umar. "Jadi benar jika sebagian subsidi salah sasaran, yang menikmati adalah kelas menengah model ini! Tapi karena kelas menengah ini amat tergantung pada penyangga seperti subsidi BBM, jika penyangga dicabut, beban kelas menengah ini akan amblek, runtuh, longsor jadi beban lapisan sosial di bawahnya! Karena memang demikian kemiskinan struktural, beban lapisan sosial di atas selalu ditimpakan jadi beban yang harus dipikul lapisan sosial terbawah!" ***
"Mobilitas sosial dari lapisan bawah naik ke kelas menengah kebanyakan sebagai produk nepotisme dan dinamika politik! Kalaupun ada sebagai buah kerja keras, jumlahnya terbatas!" "Kelas menengah produk nepotisme dan dinamika politik itu amat rapuh dan tergantung pada aneka fasilitas, di antaranya subsidi BBM dan listrik!" tukas Umar. "Jadi benar jika sebagian subsidi salah sasaran, yang menikmati adalah kelas menengah model ini! Tapi karena kelas menengah ini amat tergantung pada penyangga seperti subsidi BBM, jika penyangga dicabut, beban kelas menengah ini akan amblek, runtuh, longsor jadi beban lapisan sosial di bawahnya! Karena memang demikian kemiskinan struktural, beban lapisan sosial di atas selalu ditimpakan jadi beban yang harus dipikul lapisan sosial terbawah!" ***
0 komentar:
Posting Komentar