"BLSM—bantuan langsung sederhana masyarakat—kompensasi kenaikan harga BBM buat keluarga miskin, seperti BLT!" ujar Umar. "Kali ini besarnya Rp150 ribu/keluarga/bulan, sifatnya tunjangan kemahalan sesuai kenaikan harga kebutuhan hidup akibat kenaikan harga BBM sebesar Rp140 ribu/keluarga/bulan! (Kompas, 10-3) Maksudnya, dengan BLSM keluarga miskin bisa bertahan pada standar hidup sebelum kenaikan harga BBM!"
"Jadi seisi negara dibuat repot oleh kebijakan itu, presiden, menteri-menteri, anggota DPR, rapat siang-malam, Bank Sentral mencetak duit ekstra dan mendistribusikan ke seantero negeri, aparat kabupaten/kota dan desa keliling woro-woro kapan pembagian dilakukan, lalu keluarga miskin turun gunung belasan kilometer menuju antrean BLSM di Kantor Pos kecamatan, tujuannya satu, mempertahankan standar hidup pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM!" timpal Amir. "Kenapa para pemimpin gemar mendramatisasi semua itu cuma untuk membawa keluarga miskin berputar dari kondisi A kembali ke kondisi A lagi? Itu pun jika semua sesuai prediksi! Jika ekses kenaikan BBM lebih buruk dari prediksi, kondisi warga miskin jadi lebih terpuruk!" "Tujuan utamanya agar anggaran subsidi BBM tidak membengkak terlalu besar!" tegas Umar. "Kalau terlalu besar kenapa?" kejar Amir. "Bisa dinilai negatif Bank Dunia!" jawab Umar. "Cuma itu kerepotan semua orang seisi negara bermuara? Menjaga reputasi pemerintah di mata Bank Dunia?" tukas Amir. "Celaka tiga belas kita! Belum lagi repotnya orang sektor perhubungan menjalankan public services obligation (PSO) yang menghabiskan dana Rp5 triliun selama 9 bulan, April—Desember 2012, kompensasi buat pengusaha angkutan agar tidak menaikkan tarif sesukanya!" "Ternyata malah kau yang mendramatisasi betapa repotnya orang seisi negara dibuat kenaikan harga BBM yang bisa mendegradasi standar hidup keluarga miskin kalau tak disangga BLSM!" timpal Umar. "Tapi, memang bisa dibayangkan betapa repotnya 17,5 juta keluarga dengan 74 juta warga miskin itu dibuat pembagian uang Rp26,5 triliun selama sembilan bulan hanya agar Bank Dunia tak menilai negatif pemerintah kita! Jangan-jangan biaya semua kerepotan itu kalau dikelola efektif bisa buat mengentaskan lebih banyak warga miskin ketimbang yang dicapai pada 2011, hanya 132 ribu orang dengan biaya Rp86 triliun!" "Tapi realitasnya?" sambut Amir. "Malang nian bangsa ini, tak punya seorang saja teknokrat yang mampu membuat loncatan maju hingga bangsa tak seperti gabah dikitari—berputar di situ terus!" ***
"Jadi seisi negara dibuat repot oleh kebijakan itu, presiden, menteri-menteri, anggota DPR, rapat siang-malam, Bank Sentral mencetak duit ekstra dan mendistribusikan ke seantero negeri, aparat kabupaten/kota dan desa keliling woro-woro kapan pembagian dilakukan, lalu keluarga miskin turun gunung belasan kilometer menuju antrean BLSM di Kantor Pos kecamatan, tujuannya satu, mempertahankan standar hidup pada kondisi sebelum kenaikan harga BBM!" timpal Amir. "Kenapa para pemimpin gemar mendramatisasi semua itu cuma untuk membawa keluarga miskin berputar dari kondisi A kembali ke kondisi A lagi? Itu pun jika semua sesuai prediksi! Jika ekses kenaikan BBM lebih buruk dari prediksi, kondisi warga miskin jadi lebih terpuruk!" "Tujuan utamanya agar anggaran subsidi BBM tidak membengkak terlalu besar!" tegas Umar. "Kalau terlalu besar kenapa?" kejar Amir. "Bisa dinilai negatif Bank Dunia!" jawab Umar. "Cuma itu kerepotan semua orang seisi negara bermuara? Menjaga reputasi pemerintah di mata Bank Dunia?" tukas Amir. "Celaka tiga belas kita! Belum lagi repotnya orang sektor perhubungan menjalankan public services obligation (PSO) yang menghabiskan dana Rp5 triliun selama 9 bulan, April—Desember 2012, kompensasi buat pengusaha angkutan agar tidak menaikkan tarif sesukanya!" "Ternyata malah kau yang mendramatisasi betapa repotnya orang seisi negara dibuat kenaikan harga BBM yang bisa mendegradasi standar hidup keluarga miskin kalau tak disangga BLSM!" timpal Umar. "Tapi, memang bisa dibayangkan betapa repotnya 17,5 juta keluarga dengan 74 juta warga miskin itu dibuat pembagian uang Rp26,5 triliun selama sembilan bulan hanya agar Bank Dunia tak menilai negatif pemerintah kita! Jangan-jangan biaya semua kerepotan itu kalau dikelola efektif bisa buat mengentaskan lebih banyak warga miskin ketimbang yang dicapai pada 2011, hanya 132 ribu orang dengan biaya Rp86 triliun!" "Tapi realitasnya?" sambut Amir. "Malang nian bangsa ini, tak punya seorang saja teknokrat yang mampu membuat loncatan maju hingga bangsa tak seperti gabah dikitari—berputar di situ terus!" ***
0 komentar:
Posting Komentar