DI Metro TV, Senin (2/11) petang, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bicara banyak tentang Peraturan Menteri Perdagangan yang mempermudah izin impor produk tertentu, termasuk hasil laut dari salmon, makarel, tuna sampai ikan teri, hingga mengancam industri dalam negeri.
Peraturan Menteri Perdagangan dimaksud No. 87 Tahun 2015, ditunda pelaksanaannya dari seharusnya berlaku 1 November 2015 jadi 1 Januari 2016. Keluhan Menteri Susi itu senada dengan protes para pengusaha, terutama kalangan importir. Aturan yang merupakan bagian dari deregulasi itu dianggap blunder karena awalnya ingin mempermudah perizinan dan investasi dunia usaha, tetapi mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Sebelumnya importir produk tertentu harus memiliki izin importir tertentu (IT), antara lain berupa importir produsen (IP) yang tahu kekurangan pasokan di pasar, seperti produsen gula untuk impor gula jenis tertentu.
Tapi kini, dengan Permendag 87/2015, pembatasan dengan IT tak berlaku lagi, cukup memiliki angka pengenal importir (API) umum untuk impor produk tertentu.
Praktis, asal importir bebas mengimpor produk tertentu. Ini bisa merugikan produsen produk tertentu, yang dalam permendag ditetapkan tujuh jenis kelompok produk, yakni makanan dan minuman, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga, pakaian jadi dan barang tekstil jadi, alas kaki, elektronika, dan mainan anak-anak. "Artinya sekarang orang lebih mudah jadi pedagang saja, tak perlu investasi, hanya cukup satu karyawan bisa mengimpor semua barang," ujar Adhi Lukman, ketua umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi). (detik-net, 28/10)
Di balik penolakan pengusaha (dan Menteri Susi) terhadap permendag itu tampak ada konflik pandangan. Yakni, konflik xenophobia (ketakutan pada asing) versus xenolatri (gandrung pada asing). Pandangan xenophobia masuk doktrin Trisakti Bung Karno yang mencitakan berdikari dalam ekonomi. Sedangkan xenolatri paham neoliberalisme, menjadikan semua negeri pasar bebas bagi semua produk—tanpa peduli akibatnya, survival of the fittest, hanya yang terkuat bertahan hidup.
Terlihat, pengusaha konsisten dengan paham berdikari sesuai prinsip Trisakti ajaran Bung Karno. Sebaliknya pemerintah, mengamalkan neoliberalisme yang bertentangan dengan Nawacita—janji kampanye Jokowi untuk mengamalkan Trisakti ajaran Bung Karno. Jadi, pemerintah lain kata lain tindakan—split personality. ***
0 komentar:
Posting Komentar