KEGADUHAN politik sejak konflik antarkoalisi berebut kekuasaan yang berkelanjutan dari isu ke isu, kini memuncak ke aras kekuasaan, ketua DPR dituding mencatut nama Presiden.
Apa pun masalahnya, kegaduhan tak henti di kalangan elite politik itu di mata rakyat hanya terlihat kekanak-kanakan (childishness), baik perilaku berpolitiknya maupun sikapnya yang selalu mau benar dan menang sendiri tanpa peduli hak-hak orang lain yang seharusnya dihormati.
Bayangkan ketika mencatut nama Presiden untuk meminta bagian saham dari Freeport, simpul hasrat yang terekam adalah untuk bisa foya-foya dengan pesawat jet pribadi. Betapa, politikus di puncak perwakilan rakyat tidak punya tenggang rasa pada rakyat yang masih hidup menderita. Lebih-lebih rakyat Papua, lokasi tambang emas Freeport, amat sengsara.
Sikap kekanak-kanakan menyedihkan sekali, tanpa peduli pada cacat etika dan moral selaku pemimpin bangsa, gerombolannya membela habis-habisan bahwa pelanggaran etika moral oknum pemimpin itu bukan soal prinsipil, melainkan dilakukan untuk kepentingan rakyat. Lalu dengan alasan yang dicari-cari, menuding justru pihak lain yang salah. Paling menonjol dari sifat kekanak-kanakan elite politik yang ribut melulu itu adalah belum terlihatnya watak kesatria.
Atas kesalahan atau pelanggaran kaidah-norma etika dan moral yang sudah terang benderang sekalipun, mereka tidak mau mengakui kesalahan (dan apalagi minta maaf), tapi justru mengalihkan tudingan ke pihak lain. Akibatnya, banyak elite politik harus menjalani re-education lebih lima tahun di lembaga pemasyarakatan untuk kembali belajar watak kesatria.
Watak kesatria yang utama mau mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta mau mengakui dan menerima kekalahan. Ketiadaan watak kesatria yang kedua itulah, tidak mau mengakui dan menerima kekalahan, pangkal kegaduhan elite politik sepanjang periode ini.
Masalahnya bukan semata PDIP yang menang pemilu tak mendapat kursi ketua DPR atau tak kebagian jabatan ketua komisi dan badan di DPR. Tapi hak partai pemenang pemilu mendapat kursi ketua DPR itu sudah menjadi kebiasaan atau konvensi dalam sistem kenegaraan kita selama ini.
Konvensi oleh para Bapak Pendiri Republik diakui sebagai bagian dari konstitusi, tapi oleh watak kekanak-kanakan politikus kita dibuang. Padahal, Inggris yang politikusnya dewasa, sistem kenegaraannya berjalan baik dan stabil cukup dengan konvensi, tanpa konstitusi tertulis. Cuma, kapan politikus kita dewasa? ***
Bayangkan ketika mencatut nama Presiden untuk meminta bagian saham dari Freeport, simpul hasrat yang terekam adalah untuk bisa foya-foya dengan pesawat jet pribadi. Betapa, politikus di puncak perwakilan rakyat tidak punya tenggang rasa pada rakyat yang masih hidup menderita. Lebih-lebih rakyat Papua, lokasi tambang emas Freeport, amat sengsara.
Sikap kekanak-kanakan menyedihkan sekali, tanpa peduli pada cacat etika dan moral selaku pemimpin bangsa, gerombolannya membela habis-habisan bahwa pelanggaran etika moral oknum pemimpin itu bukan soal prinsipil, melainkan dilakukan untuk kepentingan rakyat. Lalu dengan alasan yang dicari-cari, menuding justru pihak lain yang salah. Paling menonjol dari sifat kekanak-kanakan elite politik yang ribut melulu itu adalah belum terlihatnya watak kesatria.
Atas kesalahan atau pelanggaran kaidah-norma etika dan moral yang sudah terang benderang sekalipun, mereka tidak mau mengakui kesalahan (dan apalagi minta maaf), tapi justru mengalihkan tudingan ke pihak lain. Akibatnya, banyak elite politik harus menjalani re-education lebih lima tahun di lembaga pemasyarakatan untuk kembali belajar watak kesatria.
Watak kesatria yang utama mau mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta mau mengakui dan menerima kekalahan. Ketiadaan watak kesatria yang kedua itulah, tidak mau mengakui dan menerima kekalahan, pangkal kegaduhan elite politik sepanjang periode ini.
Masalahnya bukan semata PDIP yang menang pemilu tak mendapat kursi ketua DPR atau tak kebagian jabatan ketua komisi dan badan di DPR. Tapi hak partai pemenang pemilu mendapat kursi ketua DPR itu sudah menjadi kebiasaan atau konvensi dalam sistem kenegaraan kita selama ini.
Konvensi oleh para Bapak Pendiri Republik diakui sebagai bagian dari konstitusi, tapi oleh watak kekanak-kanakan politikus kita dibuang. Padahal, Inggris yang politikusnya dewasa, sistem kenegaraannya berjalan baik dan stabil cukup dengan konvensi, tanpa konstitusi tertulis. Cuma, kapan politikus kita dewasa? ***
0 komentar:
Posting Komentar