Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Penguasa Gembira Rakyatnya Sengsara!

DI dunia ini ada kalanya penguasa gembira ketika rakyatnya sengsara. Itu terjadi saat pemerintah dan bank sentral gembira terjadi deflasi berturut bulan ke bulan sehingga target inflasi yang rendah tercapai, padahal di sisi lain deflasi beruntun itu akibat daya beli rakyatnya merosot hingga banyak yang sengsara karena konsumsinya tak tercukupi. 

Kemungkinan itu mengingatkan agar penguasa mawas diri, tidak salah tingkah ketika terjadi depresi berturut seperti pada 2015 ini, September 0,06% dan Oktober 0,08%. Lebih lagi ketika Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada kuartal III 2015 menyumbang 54,98% pada produk domestik bruto (PDB). 

Pelambatan pertumbuhan itu dari 5,08% pada kuartal III 2014, menjadi 4,96% pada kuartal III 2015. (Kompas, 6/11) Tampaknya persentase pelemahan itu kecil, hanya 0,12%. Tapi realitasnya, dalam periode itu banyak orang terperosok ke jurang bawah garis kemiskinan. Itu dialami 860 ribu orang dari September 2014 sampai Maret 2015. Atau dari Agustus 2014 sampai Agustus 2015, sebanyak 330 ribu orang jadi penganggur. Masih ditunggu pengumuman BPS, berapa pula tambahan orang masuk jurang kemiskinan periode Maret 2015 ke September 2015. 

Di lapangan, deflasi itu membuat kehidupan rakyat lapisan bawah tambah susah bisa dilihat di pasar-pasar tradisional. Mayoritas pedagang kebutuhan sehari-hari omzetnya merosot sampai 30% atau lebih dibanding tahun lalu. 

Apalagi pedagang daging sapi, merosotnya ada yang sampai 50%, karena mayoritas rakyat tak mampu lagi membeli daging sapi. Untuk itu, sembari bergembira target inflasi tercapai, penguasa layak berusaha untuk meningkatkan kembali daya beli rakyat, terutama mereka yang daya belinya sudah kandas. 

Di negara kesejahteraan (welfare state), orang yang baru menjadi penganggur mendaftar untuk mendapat tunjangan jaminan sosial bagi penganggur. Tunjangannya kecil, di Amerika cuma sekitar 600 dolar AS per bulan untuk yang berkeluarga, sampai orangnya mendapat pekerjaan kembali. 

Tapi, karena di Indonesia belum ada aturan seperti di negara kesejahteraan itu, bantuan langsung tunai (apa pun namanya) pantas diberikan pemerintah kepada mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. 

Jumlahnya kalau bisa, menambal jarak kekurangan antara kemampuan konsumsinya yang nyata dan angka garis kemiskinan. Dengan begitu, programnya sekaligus mengentaskan mereka dari bawah garis kemiskinan. ***

0 komentar: