Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

GWM Antisipasi Kebijakan The Fed!

BI—Bank Indonesia—pekan lalu (17/11) menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer dari 8% menjadi 7,5%. Tentu itu mengantisipasi laporan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terus membaik sehingga kebijakan The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga bisa saja dilakukan Desember. 

GWM adalah simpanan wajib bank dalam rekening giro pada BI yang harus dipelihara sebesar persentase yang ditetapkan BI dari jumlah dana pihak ketiga (DPK) sebuah bank. GWM primer untuk DPK dalam rupiah. Dengan turunnya GWM, tambah besar dana bank yang bisa disalurkan untuk kredit. Tambahan dana untuk kredit dengan penurunan GWM 0,5% itu, menurut Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, sekitar Rp18 triliun (Merdeka.com, 17/11). 

Peningkatan kapasitas bank dalam memberi kredit ini merupakan upaya mendorong lebih tinggi pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai membaik kuartal III-2015. Tambahan dana ini, menurut Ferry, juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai pembiayaan proyek (detik-finance, 17/11). 

Namun, Rektor Universitas Paramadina Firmanzah memprediksi kebijakan kenaikan suku bunga The Fed akan direspons BI dengan melakukan penyesuaian suku bunga acuan. "BI rate akan disesuaikan saat The Fed menaikkan suku bunga. BI rate diprediksi akan dinaikkan untuk mencegah kepemilikan asing di instrumen investasi tidak keluar," ujar Firmanzah. Namun, kenaikan BI rate itu hanya jangka pendek. Tujuannya, agar arus modal yang keluar dari Indonesia tidak terlalu banyak (Kompas.com, 19/11). 

Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan tetap berhati-hati dalam menempuh pelonggaran kebijakan moneter karena masih tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. "Terutama karena kemungkinan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan keberagaman kebijakan moneter yang ditempuh Bank Sentral Eropa, Jepang, dan China," ujar Agus. 

Itulah alasan kenapa pelonggaran kebijakan moneter BI hanya kepada bank, sedangkan suku bunga acuan yang dipikul dunia usaha tetap. Padahal, untuk mendorong pertumbuhan, penurunan suku bunga acuan lebih efektif karena meringankan beban dunia usaha. Seperti Tiongkok, sejak November 2014 telah enam kali memangkas suku bunga acuan (terakhir jadi 4,35%) untuk menjaga pertumbuhan pada 7%. Itu pun kuartal III-2015 meleset jadi 6,9%. 

Kenapa Indonesia tak memprioritaskan peran dunia usaha untuk mendorong pertumbuhan, tapi lebih mengandalkan fiskal pemerintah yang sering bocor dan lelet penyerapannya? Kalau keduanya seiring, tentu lebih baik. ***

0 komentar: