BPS—Badan Pusat Statistik—melaporkan neraca perdagangan Oktober 2015 surplus 1,01 miliar dolar AS. Namun, menurut Kepala BPS Suryamin, nilai ekspor migas dan nonmigas Indonesia turun 4 persen dibanding September 2015, dan mengecil 20,98 persen dibanding Oktober 2014.
Sementara itu, lanjut Suryamin, nilai impor migas dan nonmigas Indonesia turun 4,27 persen dari bulan sebelumnya, serta mengecil 27,81 persen dibanding Oktober 2014. (Kompas.siang, 16/11)
Kalau dalam setahun ekspor dan impor mengecil seperlima bagian begitu, dalam lima tahun urusan ekspor dan impor selesai. Nilai ekspor turun, menurut Suryamin, karena permintaan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia masih lemah. Sedangkan nilai impor turun akibat pelaku usaha masih menekan pengeluaran mereka karena dolar masih tinggi.
Alasan penurunan nilai ekspor dan impor yang dikatakan Suryamin itu masuk akal. Tapi ada juga yang di luar akal sehat menjadi penyebab, yakni regulasi birokratisme, yang sedang serius dibenahi pemerintahan Jokowi-JK dengan deregulasi dan debirokratisasi yang sejauh ini telah merilis enam paket kebijakan.
Birokratisme tergolong di luar akal sehat karena selalu membuat justifikasi sendiri untuk regulasi atau hambatan yang sebenarnya melawan akal sehat. Misalnya dengan alasan untuk membantu produsen dalam negeri dan menekan defisit neraca pembayaran, impor tertentu dipersulit atau dihambat baik dengan regulasi maupun proses administrasinya. Padahal di balik itu, impor yang dipersulit masuknya itu bahan baku/penolong yang pada Januari—Oktober 2015 turun 21,48 persen dibanding periode sama 2014, serta barang modal yang dalam periode sama turun 17,68 persen.
Bahan baku/penolong dan barang modal itu kebutuhan produsen dalam negeri yang menggerakkan ekonomi riil, baik untuk reekspor maupun pasar domestik. Dengan impornya terhambat, kegiatan industri dan pasarnya menurun, akibatnya ekonomi ikut melambat.
Realitas itu dibaca dengan tepat oleh Jokowi-JK sehingga bertubi-tubi mengeluarkan serangkai paket kebijakan untuk mengatasinya. Termasuk turun langsung ke pelabuhan membongkar hambatan administratif dan fisik yang bahkan dilakukan terang-terangan, hingga antrean kapal untuk mendapat sandaran (dwelling time) sampai delapan hari.
Tapi, karena regulasi dan hambatan yang menjadikan proses administrasi bertele-tele itu membuahkan kenikmatan bagi pelaku praktik birokratisme, paket-paket kebijakan Jokowi-JK pun masih diuji kemujarabannya. ***
Kalau dalam setahun ekspor dan impor mengecil seperlima bagian begitu, dalam lima tahun urusan ekspor dan impor selesai. Nilai ekspor turun, menurut Suryamin, karena permintaan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia masih lemah. Sedangkan nilai impor turun akibat pelaku usaha masih menekan pengeluaran mereka karena dolar masih tinggi.
Alasan penurunan nilai ekspor dan impor yang dikatakan Suryamin itu masuk akal. Tapi ada juga yang di luar akal sehat menjadi penyebab, yakni regulasi birokratisme, yang sedang serius dibenahi pemerintahan Jokowi-JK dengan deregulasi dan debirokratisasi yang sejauh ini telah merilis enam paket kebijakan.
Birokratisme tergolong di luar akal sehat karena selalu membuat justifikasi sendiri untuk regulasi atau hambatan yang sebenarnya melawan akal sehat. Misalnya dengan alasan untuk membantu produsen dalam negeri dan menekan defisit neraca pembayaran, impor tertentu dipersulit atau dihambat baik dengan regulasi maupun proses administrasinya. Padahal di balik itu, impor yang dipersulit masuknya itu bahan baku/penolong yang pada Januari—Oktober 2015 turun 21,48 persen dibanding periode sama 2014, serta barang modal yang dalam periode sama turun 17,68 persen.
Bahan baku/penolong dan barang modal itu kebutuhan produsen dalam negeri yang menggerakkan ekonomi riil, baik untuk reekspor maupun pasar domestik. Dengan impornya terhambat, kegiatan industri dan pasarnya menurun, akibatnya ekonomi ikut melambat.
Realitas itu dibaca dengan tepat oleh Jokowi-JK sehingga bertubi-tubi mengeluarkan serangkai paket kebijakan untuk mengatasinya. Termasuk turun langsung ke pelabuhan membongkar hambatan administratif dan fisik yang bahkan dilakukan terang-terangan, hingga antrean kapal untuk mendapat sandaran (dwelling time) sampai delapan hari.
Tapi, karena regulasi dan hambatan yang menjadikan proses administrasi bertele-tele itu membuahkan kenikmatan bagi pelaku praktik birokratisme, paket-paket kebijakan Jokowi-JK pun masih diuji kemujarabannya. ***
0 komentar:
Posting Komentar