"KOMBINASI hujan alami dan hujan buatan yang merata meredakan titik api di Sumatera dan Kalimantan," ujar Amir. "Dari 2.218 titik api pada Sabtu (24/10), tinggal 402 titik api Sabtu lalu (31/10)."
"Asapnya?" potong Umar.
"Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho (Kompas.com, 31/10), indeks kualitas udara yang sebelumnya di banyak kota Sumatera dan Kalimantan sering pada level berbahaya, hari ini pada level baik-sedang," jawab Amir.
"Sedang jarak pandang, pagi ini di Padang 4 km, Pekan Baru 7 km, Jambi 2,8 km, Palembang 800 meter, Pontianak 2 km, Palangkaraya 1,5 km, dan Banjarmasin 6 km." "Kenapa hujan buatannya baru sekarang dimainkan? Kalau sejak awal kan titik apinya tidak meluas," tukas Umar.
"Kalau sudah tiga bulan terbakar, semak, kayu, dan gambut sudah habis dilumat api, tak dipadamkan juga mati sendiri! Tiga bulan, pasar terbakar dua jam saja ludes." "Awalnya mungkin tak mengira bakal sehebat itu apinya," jawab Amir. "Saat api marak, heli Menko Polhukam saja tak bisa menembus asap untuk ke Pulang Pisau dan Jambi. Kalau heli pakai kipas saja tak bisa tembus, apalagi pesawat penabur garam pembuat hujan!" "Kemarau dampak El Nino sebenarnya belum waktunya berakhir," timpal Umar.
"Tapi terakhir ini orang ramai salat istiska, minta hujan. Di Pekanbaru dan Bogor langsung diguyur hujan saat salat istiska. Tapi kenapa baru sekarang salat minta hujan?" "Orang kan harus ikhtiar dulu," jawab Amir. "Setelah ikhtiar gagal, api justru tambah marak, barulah pasrah! Dan ketika pertolongan datang, berupa hujan alami, udara pun bisa dilintasi pesawat, ikhtiar dioptimalkan agar hujan lebih merata."
"Begitu pun kita salut pada pemerintah yang gigih memadamkan api sampai semua materi yang bisa terbakar ludes jadi abu!" tukas Umar. "Setelah itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikan hutan seperti semula." "Untuk rehabilitasi hutan dan gambut itu ada dana carbon trading (jual-beli oksigen) sebesar 1 miliar dolar AS dari Norwegia," ujar Amir. "Itu dana kompensasi buat rakyat karena tidak lagi menebang hutan demi reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+)," entak Umar.
"Dana itu seharusnya untuk rakyat (seperti Lampung Barat yang mayoritas arealnya hutan lindung) yang jadi miskin karena tak boleh menyentuh hutan sebagai sumber hakiki penghidupan. Tapi akibat kelalaian pemerintah terlambat mengatasi kebakaran hutan, dana kompensasi penderitaan rakyat itu dialihkan untuk menambal kelalaian pemerintah tersebut. ***
"Sedang jarak pandang, pagi ini di Padang 4 km, Pekan Baru 7 km, Jambi 2,8 km, Palembang 800 meter, Pontianak 2 km, Palangkaraya 1,5 km, dan Banjarmasin 6 km." "Kenapa hujan buatannya baru sekarang dimainkan? Kalau sejak awal kan titik apinya tidak meluas," tukas Umar.
"Kalau sudah tiga bulan terbakar, semak, kayu, dan gambut sudah habis dilumat api, tak dipadamkan juga mati sendiri! Tiga bulan, pasar terbakar dua jam saja ludes." "Awalnya mungkin tak mengira bakal sehebat itu apinya," jawab Amir. "Saat api marak, heli Menko Polhukam saja tak bisa menembus asap untuk ke Pulang Pisau dan Jambi. Kalau heli pakai kipas saja tak bisa tembus, apalagi pesawat penabur garam pembuat hujan!" "Kemarau dampak El Nino sebenarnya belum waktunya berakhir," timpal Umar.
"Tapi terakhir ini orang ramai salat istiska, minta hujan. Di Pekanbaru dan Bogor langsung diguyur hujan saat salat istiska. Tapi kenapa baru sekarang salat minta hujan?" "Orang kan harus ikhtiar dulu," jawab Amir. "Setelah ikhtiar gagal, api justru tambah marak, barulah pasrah! Dan ketika pertolongan datang, berupa hujan alami, udara pun bisa dilintasi pesawat, ikhtiar dioptimalkan agar hujan lebih merata."
"Begitu pun kita salut pada pemerintah yang gigih memadamkan api sampai semua materi yang bisa terbakar ludes jadi abu!" tukas Umar. "Setelah itu perlu ratusan tahun untuk mengembalikan hutan seperti semula." "Untuk rehabilitasi hutan dan gambut itu ada dana carbon trading (jual-beli oksigen) sebesar 1 miliar dolar AS dari Norwegia," ujar Amir. "Itu dana kompensasi buat rakyat karena tidak lagi menebang hutan demi reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+)," entak Umar.
"Dana itu seharusnya untuk rakyat (seperti Lampung Barat yang mayoritas arealnya hutan lindung) yang jadi miskin karena tak boleh menyentuh hutan sebagai sumber hakiki penghidupan. Tapi akibat kelalaian pemerintah terlambat mengatasi kebakaran hutan, dana kompensasi penderitaan rakyat itu dialihkan untuk menambal kelalaian pemerintah tersebut. ***
0 komentar:
Posting Komentar