PEMERINTAH sudah menerbitkan enam paket kebijakan ekonomi sejak September lalu. Sampai hari ini masih banyak kebijakan yang belum efektif karena aturan yang belum tuntas. Hal itu disebabkan birokrasi yang selama ini merasa mapan enggan terganggu. (Kompas, 11/11)
Paket kebijakan itu antara lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, birokrasi berusaha mempertahankan sumber daya ekonomi yang selama ini dinikmati secara pribadi maupun kelompok.
Keluhan hambatan birokrasi terhadap pelaksanaan program-program pemerintah yang bersifat debirokratisasi, sudah terdengar sejak zaman kepresidenan Megawati. Bahkan, keluhan itu datang dari sang Presiden sendiri. Keluhan dimaksud, terutama atas program yang memang bertujuan mengurangi campur tangan birokrat, seperti deregulasi yang mencabut penanganan kegiatan tertentu dari kewenangan operasional birokrat.
Pada era kepresidenan SBY, hambatan birokrasi itu kurang terasa karena yang dijalankan kebanyakan justru kebijakan yang regulatif—memberdayakan birokrasi sebagai aparatur pemerintah. Di daerah-daerah bahkan ditandai dengan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) yang masif. Dalam satu dekade itu, pertambahan jumlah PNS di daerah mungkin hingga berlipat dua. Itu terjadi karena rekrutmen PNS di daerah membawa benefit kepada elite pemerintahan daerah di era demokrasi pemilihan kepala daerah langsung.
Oleh sebab itu, kalau penelusuran Kompas menemukan ganjalan birokrasi atas enam paket kebijakan pemerintahan Jokowi-JK, cukup masuk akal karena birokrasi pemerintah masih dalam semangat regulatif dan birokratis yang telah melembaga satu dekade. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dicanangkan dalam paket kebijakan Jokowi-JK itu jelas tidak senapas dengan tradisi birokratisme, yang telah mapan dan terlembaga dengan semangat birokrasi sebagai aparatur pemerintah yang berhak dan wajib menangani (langsung) pelaksanaan tugas pemerintahan.
Oleh karena itu, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi cenderung bersifat liberatif, bersemangatkan laisez faire, dengan semboyan ketika birokrasi aparatur pemerintah tidur, ekonomi berjalan dan tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu, dalam deregulasi dan debirokratisasi pelaksanaan kewenangan dan tugas pemerintahan untuk mengatur ekonomi dicabut dan diseterilkan dari tangan birokrat.
Jadi, untuk pelaksanaan paket deregulasi itu perlu program khusus pelembagaan budaya laisez faire, tempat para birokrat dilatih (paksa) untuk lebih banyak tidur! ***
Pada era kepresidenan SBY, hambatan birokrasi itu kurang terasa karena yang dijalankan kebanyakan justru kebijakan yang regulatif—memberdayakan birokrasi sebagai aparatur pemerintah. Di daerah-daerah bahkan ditandai dengan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) yang masif. Dalam satu dekade itu, pertambahan jumlah PNS di daerah mungkin hingga berlipat dua. Itu terjadi karena rekrutmen PNS di daerah membawa benefit kepada elite pemerintahan daerah di era demokrasi pemilihan kepala daerah langsung.
Oleh sebab itu, kalau penelusuran Kompas menemukan ganjalan birokrasi atas enam paket kebijakan pemerintahan Jokowi-JK, cukup masuk akal karena birokrasi pemerintah masih dalam semangat regulatif dan birokratis yang telah melembaga satu dekade. Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dicanangkan dalam paket kebijakan Jokowi-JK itu jelas tidak senapas dengan tradisi birokratisme, yang telah mapan dan terlembaga dengan semangat birokrasi sebagai aparatur pemerintah yang berhak dan wajib menangani (langsung) pelaksanaan tugas pemerintahan.
Oleh karena itu, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi cenderung bersifat liberatif, bersemangatkan laisez faire, dengan semboyan ketika birokrasi aparatur pemerintah tidur, ekonomi berjalan dan tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu, dalam deregulasi dan debirokratisasi pelaksanaan kewenangan dan tugas pemerintahan untuk mengatur ekonomi dicabut dan diseterilkan dari tangan birokrat.
Jadi, untuk pelaksanaan paket deregulasi itu perlu program khusus pelembagaan budaya laisez faire, tempat para birokrat dilatih (paksa) untuk lebih banyak tidur! ***
0 komentar:
Posting Komentar