MESKI adanya beras impor dibantah dengan bersitegang urat leher dalam acara formal oleh sejumlah pejabat yang bertanggung jawab untuk swasembada pangan, akhirnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui beras impor asal Vietnam sudah masuk ke Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Selamat datang beras impor!
"Sudah (beras impor masuk). Ada di banyak pelabuhan, bukan hanya Jakarta," ujar Wakil Presiden. (Antara, 11/11)
Menurut Kalla, pelaksanaan impor beras dilakukan untuk memenuhi persediaan stok beras di beberapa daerah. Akibat El Nino, panen mundur karena kekeringan. Pemerintah memutuskan untuk kembali mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. "Mau tidak mau, kalau kita tidak mau krisis pangan, kita impor beras. Kita tidak boleh gambling (spekulasi) dengan stok beras," kata Kalla. (Kompas.com, 24/9)
Bantahan para pejabat itu diberikan atas berita media mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa dari Januari—Agustus sudah masuk beras impor ke Indonesia sebanyak 225.029 ton. Itu termasuk daftar impor pangan dalam periode tersebut, yakni jagung 2,3 juta ton, kedelai 1,52 juta ton, biji gandum dan meslin 4,5 juta ton, gula tebu 1,98 juta ton, dan garam 1,04 juta ton. (detik-finance, 25/9)
Dengan jumlah impor semua jenis bahan pangan berbilang jutaan ton dalam delapan bulan pertama 2015, di balik klaim verbal para pejabat Indonesia sudah berhasil mencapai swasembada pangan, pantas jika menjadi perhatian dan berita media massa. Itu sesuai tradisi dunia jurnalistik, pers amat peka terhadap ancaman bahaya kelaparan, yang justru sering terjadi di balik klaim sukses penguasa atas program swasembada pangan.
Tradisi pers itu diungkap Amartya Sen dalam hasil penelitiannya yang memenangkan Nobel Bidang Ekonomi 1998. Penelitian itu menemukan dalam medio awal 1940-an, di daerah-daerah yang punya pers kritis wilayahnya bebas dari bahaya kelaparan. Bagi pers, keselamatan rakyat dari ancaman bahaya kelaparan jauh lebih penting dari klaim sukses swasembada pangan yang hanya memperbodoh rakyat demi gengsi atau citra penguasa.
Seperti impor beras, kalau akibat kekeringan panjang hasil panen tahunan berkurang sehingga perlu menambah cadangan agar jauh dari ancaman bahaya kelaparan, kenapa harus disangkal? Rakyat justru tak bersimpati pada penguasa yang lebih rela mengorbankan rakyatnya kelaparan karena demi gengsinya menolak untuk impor beras. ***
Menurut Kalla, pelaksanaan impor beras dilakukan untuk memenuhi persediaan stok beras di beberapa daerah. Akibat El Nino, panen mundur karena kekeringan. Pemerintah memutuskan untuk kembali mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. "Mau tidak mau, kalau kita tidak mau krisis pangan, kita impor beras. Kita tidak boleh gambling (spekulasi) dengan stok beras," kata Kalla. (Kompas.com, 24/9)
Bantahan para pejabat itu diberikan atas berita media mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa dari Januari—Agustus sudah masuk beras impor ke Indonesia sebanyak 225.029 ton. Itu termasuk daftar impor pangan dalam periode tersebut, yakni jagung 2,3 juta ton, kedelai 1,52 juta ton, biji gandum dan meslin 4,5 juta ton, gula tebu 1,98 juta ton, dan garam 1,04 juta ton. (detik-finance, 25/9)
Dengan jumlah impor semua jenis bahan pangan berbilang jutaan ton dalam delapan bulan pertama 2015, di balik klaim verbal para pejabat Indonesia sudah berhasil mencapai swasembada pangan, pantas jika menjadi perhatian dan berita media massa. Itu sesuai tradisi dunia jurnalistik, pers amat peka terhadap ancaman bahaya kelaparan, yang justru sering terjadi di balik klaim sukses penguasa atas program swasembada pangan.
Tradisi pers itu diungkap Amartya Sen dalam hasil penelitiannya yang memenangkan Nobel Bidang Ekonomi 1998. Penelitian itu menemukan dalam medio awal 1940-an, di daerah-daerah yang punya pers kritis wilayahnya bebas dari bahaya kelaparan. Bagi pers, keselamatan rakyat dari ancaman bahaya kelaparan jauh lebih penting dari klaim sukses swasembada pangan yang hanya memperbodoh rakyat demi gengsi atau citra penguasa.
Seperti impor beras, kalau akibat kekeringan panjang hasil panen tahunan berkurang sehingga perlu menambah cadangan agar jauh dari ancaman bahaya kelaparan, kenapa harus disangkal? Rakyat justru tak bersimpati pada penguasa yang lebih rela mengorbankan rakyatnya kelaparan karena demi gengsinya menolak untuk impor beras. ***
0 komentar:
Posting Komentar