Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Jurnalisme Versus Terorisme!

TAK mudah bagi media massa untuk melakukan kontrapropaganda terhadap penyebaran radikalisme dan terorisme di dunia maya. Pasalnya, penyebaran paham radikalisme dan terorisme di dunia maya sering mengeksploitasi isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), sedangkan media massa standar umumnya tabu bermain dengan isu SARA sehingga selalu berusaha menjauhinya. 
 
Untuk itu, media tak melakukan secara head to head kontraisunya, tapi mengangkat pokok masalahnya dalam diskursus yang bersifat positif bagi pengembangan dan pendewasaan wawasan publik terkait topik isunya. Tepatnya, menyulut dan meningkatkan aura (energi) wawasan positif untuk menekan dan mengeliminasi aura wawasan negatif.
 

Dari pengalaman mengelola pemberitaan konflik SARA yang kadang kala meletus di Lampung, sikap proaktif media massa menghimpun materi berita, tulisan, dan gambar yang bermuatan aura positif bisa amat cepat mengarahkan dan membentuk pandangan masyarakat luas untuk menilai negatif dan menolak radikalisme. 

Bahkan, lebih jauh dari itu, para pelaku yang terlibat tindakan radikalisme itu sendiri bisa dibuat menjadi sadar dan mengakui perbuatannya tidak pada tempatnya serta menyesalinya, sehingga mereka merespons upaya penyelesaian lewat jalan damai dan menghindari kekerasan berulang. 

Hal itu terjadi, tanpa kecuali, ketika isu-isu miring atas peristiwa letusan konflik SARA itu masih marak di dunia maya. Tradisi media massa standar menjauhi isu SARA itu memengaruhi warga yang rasional untuk juga menjadi alergi terhadap isu-isu SARA, termasuk isu SARA yang disebarkan di dunia maya. 

Tidak nyambungnya jurnalisme dengan terorisme itu tak terlepas dari pandangan filosofis bahwa naluri manusia merupakan jembatan antara yang insani dan yang hewani. Dilihat dari tindakannya, atau dilihat dari perbuatannya, jurnalisme mengemban semangat insani yang rasional dan konstruktif, sedangkan terorisme di sisi naluri hewani yang irasional, buas/liar, dan destruktif. Tegak di atas prinsip itu, jurnalisme selalu memilih jalan persuasif edukatif dalam menjalankan kontraisu terhadap terorisme yang dikenali sebagai crimes against humanity and conscience, kejahatan terhadap kemanusiaan dan nurani. 

Maksudnya, sembari mendorong penegakan hukum memutus mata rantai kekerasan, melalui penyajian buruknya terorisme menghancurkan umat manusia dari fisik hingga nuraninya, jurnalisme menanamkan nurani humanistik yang menjauhkan masyarakat dari paham dan semangat terorisme. ***

0 komentar: