NILAI ekspor Indonesia mengalami penurunan berkepanjangan dalam lima tahun terakhir. Padahal dari segi volume, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini (16/11), ekspor nonmigas kita sebenarnya naik, seperti pada Oktober 2015 meningkat 5,34%.
Penurunan nilai ekspor RI itu, sesuai data BPS, dari Januari—Oktober 2011 sebesar 169,03 miliar dolar AS, pada periode sama 2012 turun jadi 158,66 miliar dolar AS. Dilanjutkan pada periode sama 2013, turun lagi jadi 149,66 miliar dolar AS. Lalu pada periode sama 2014, nilai ekspornya turun lagi jadi 148,05 miliar dolar AS. Dan akhirnya penurunan paling curam terjadi Januari—Oktober 2015, yakni menjadi 127,22 miliar dolar AS.
Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, penurunan itu sebagai dampak pelambatan ekonomi Tiongkok. Pada Januari—Oktober 2015, Tiongkok menduduki negara terbesar kedua tujuan ekspor kita dengan nilai 11,01 miliar dolar AS. Peringkat pertama AS dengan ekspor periode itu mencapai 12,83 miliar dolar AS. (Kompas.com, 16/11)
Namun, penyebab utama terus melorotnya nilai ekspor itu lebih akibat menurunnya harga komoditas—karet, minyak sawit, batu bara, dan mineral—yang hingga kini masih berlanjut, meski volume ekspor sebenarnya naik. Dalam lima tahun terakhir, harga karet remah (crumb rubber) di sentra produksi Sumatera dan Kalimantan menurun dari kisaran 5 dolar AS per kg menjadi hanya 1,1 dolar AS per kg, bahkan di bawah 1 dolar AS. (Kompas, 16/11)
Demikian pula harga minyak sawit mentah (CPO) sejak Agustus 2015 jatuh ke level terendah enam tahun ini, di bawah 600 dolar AS per metrik ton. (Tempo.co, 16/9)
Celakanya, saat harga CPO jeblok, ekspornya dikenai pungutan resmi Rp50 ribu per ton, katanya untuk modal membangun industri biodiesel. Model pungutan ini jelas gaya pemalak jalanan karena kalau mau membangun industri biodiesel (sekelas solar) dan biofuel (sekelas pertamax dan avtur) BUMN perkebunan (PTPN) yang menguasai perkebunan sawit jutaan hektare bisa tinggal diperintahkan untuk membuat business plan dan menggarapnya murni secara bisnis, bukan dari sumbangan recehan itu.
Karena, memang ke sanalah masa depan usaha perkebunan, harus melengkapi diri dengan fasilitas pengolahan meningkatkan nilai tambah produksinya hingga industri terhilir.
Meningkatkan nilai tambah komoditas dengan industri pengolahan sampai ke produk terhilir, itulah jawaban menghentikan penurunan nilai ekspor padahal volumenya naik. ***
Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, penurunan itu sebagai dampak pelambatan ekonomi Tiongkok. Pada Januari—Oktober 2015, Tiongkok menduduki negara terbesar kedua tujuan ekspor kita dengan nilai 11,01 miliar dolar AS. Peringkat pertama AS dengan ekspor periode itu mencapai 12,83 miliar dolar AS. (Kompas.com, 16/11)
Namun, penyebab utama terus melorotnya nilai ekspor itu lebih akibat menurunnya harga komoditas—karet, minyak sawit, batu bara, dan mineral—yang hingga kini masih berlanjut, meski volume ekspor sebenarnya naik. Dalam lima tahun terakhir, harga karet remah (crumb rubber) di sentra produksi Sumatera dan Kalimantan menurun dari kisaran 5 dolar AS per kg menjadi hanya 1,1 dolar AS per kg, bahkan di bawah 1 dolar AS. (Kompas, 16/11)
Demikian pula harga minyak sawit mentah (CPO) sejak Agustus 2015 jatuh ke level terendah enam tahun ini, di bawah 600 dolar AS per metrik ton. (Tempo.co, 16/9)
Celakanya, saat harga CPO jeblok, ekspornya dikenai pungutan resmi Rp50 ribu per ton, katanya untuk modal membangun industri biodiesel. Model pungutan ini jelas gaya pemalak jalanan karena kalau mau membangun industri biodiesel (sekelas solar) dan biofuel (sekelas pertamax dan avtur) BUMN perkebunan (PTPN) yang menguasai perkebunan sawit jutaan hektare bisa tinggal diperintahkan untuk membuat business plan dan menggarapnya murni secara bisnis, bukan dari sumbangan recehan itu.
Karena, memang ke sanalah masa depan usaha perkebunan, harus melengkapi diri dengan fasilitas pengolahan meningkatkan nilai tambah produksinya hingga industri terhilir.
Meningkatkan nilai tambah komoditas dengan industri pengolahan sampai ke produk terhilir, itulah jawaban menghentikan penurunan nilai ekspor padahal volumenya naik. ***
0 komentar:
Posting Komentar