Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Penjara Tangerang, Keluar Jadi Tulang!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Kamis 09-09-2021
Penjara Tangerang, Keluar Jadi Tulang!
H. Bambang Eka Wijaya

TEMPO doeloe, ada lagu populer tentang Penjara Tangerang: "masuk gemuk keluar tinggal tulang". Waktu itu maksudnya, keluar penjara kurus, tinggal tulang dibalut kulit. Tapi kini lebih buruk lagi, napi keluar penjara tanpa nyawa tinggal tulang hangus terbakar.
Sebanyak 41 orang napi tewas dalam Penjara Tangerang yang terbakar Rabu dini hari (8/9), dugaan awal akibat arus pendek listrik.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I-A yang terbakar itu dibangun tahun 1972, berkapasitas 600 orang. Tapi saat terbakar, menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, secara keseluruhan berisi 2.072 orang napi. Nyaris empat kali dari kapasitasnya. (MetroTV, 8/9/2021)
Ruang C-2 LP yang terbakar itu terdiri dari beberapa kamar yang terkunci sesuai protap, berisi 122 orang. 81 orang berhasil diselamatkan meski sebagian luka berat  dan ringan. Dari 41 korban tewas, seorang napi kasus pembunuhan, seorang napi terorisme, dan sisanya semua napi kasus narkoba. Dua di antaranya warga asing, Portugal dan Afrika Selatan.
Overkapasitas hunian semua lembaga pemasyarakatan Indonesia hingga nyaris empat kali kapasitas sebenarnya, sudah lama menjadi sorotan. Overkapasitas ini menjadi salah satu sebab sulitnya mengeloka LP, akibat laju penambahan penghuni baru yang amat pesat terutama napi narkoba yang mendominasi hingga 60%.
Kondisi Indonesia ini kebalikan dari kondisi penjara di Negeri Belanda, di mana penjaranya kosong, sehingga harus meminjam napi dari negara lain untuk mengisinya, meski sedikit. Ironisnya, aturan hukum pidana di Indonesia hingga kini masih merupakan tinggalan kaum penjajah Belanda. Berarti ada yang perlu disimak dan perbandingkan antara kedua negara untuk perbaikan di Tanah Air.
Gambaran yang diberikan para pengamat selama ini, satu hal yang signifikan adalah pola hidup sederhana elite Belanda yang benar-benar menjadi teladan masyarakat. Para pejabat semua lapisan pergi kerja naik sepeda biasa, hingga lalu lintas masyarakat umum didominasi "sepeda janda" (maksudnya bukan sepeda mahal seperti persaingan sepeda mahal di Jakarta.
Maksudnya, ekspresi hidup sederhana bangsanya tercermin di jalan raya sehingga tuntutan biaya hidup tidak mendorong kriminalitas. Sementara di Indonesia, jalan raya menjadi tempat show of force materialisne bahkan hedonisne, yang mendorong orang memaksakan diri untuk memcapainya: tanpa kecuali lewat cara melanggar hukum -- yang berkuasa korupsi, lainnya membegal, sampai dagang narkoba. ***




0 komentar: