Artikel Halaman 12, Lampung Post Rabu 08-09-2021
Diskriminasi pada Si Kecil yang Lemah!
H. Bambang Eka Wijaya
DALAM demokrasi si kecil yang lemah wajib dilindungi negara demi menghindarkan homo homini lupus (yang kuat memangsa yang lemah) dan survival of the fittest--hanya yang terkuat berhak hidup, yang kecil dan lemah mati tergilas.
Sayangnya dalam dunia pendidikan di Indonesia, diskriminasi justru secara formal dilakukan pemerintah terhadap si kecil yang lemah. Itu terkait dengan Permendikbudristek Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler, yang pada pasal 3 ayat 2 huruf d menyebutkan "memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.
Jadi secara terang dan jelas aturan tersebut mendisktiminasi sekolah-sekolak kecil yang muridnya sedikit di seantero negeri. Akibat diskriminasu itu, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan dengan tegas menolak sturan tersebut.
Aliansi yang di antaranya terdiri dari Muhamnadiyah, LP Ma'arif NU, hingga PGRI ini menilai pasal tersebut menimbulkan diskriminasi dan bertentangan dengan hak pendidikan sesuau UUD 1945,
Mengutip pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945, pemerintah semestinya membiayai pendidikan seluruh peserta didik sebab hal itu menjadi hak konstitusional warga negara.
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiao warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," demikian pernyataan aliansi.
Wakil Sekjen PGRI Dudung Abdul Qodir dikutip CNNIndonesia menyebut Kemendikbudristek mestinya mengambil langkah bijak dengan tanpa mengabaikan sekolah-sekolah kecil dengan peserta didik di bawah 60 orang.
Menurut dia, sekolah-sekolah dengan peserta didik sedikit umumnya berada di daerah pedalaman. Namun, sekolah itu justru berkontribusi besar di tengah masyarakat, apalagi di tengah pandemi Covid-19.
"Ayo kita selamatkan sekolah yang sudah berkontribusi dengan cara menyelamatkan sekolah yang di bawah 60 siswa. Dan rata-rata sekolah kecil dihuni oleh saudara kita yang di bawah garis kemiskinan," kata Dudung.
Logikanya, yang lemsh dan kecil paling pantas dibantu, apalagi terkait hak konstitusional setiap warga negara, Kemendikbudristek harus memperbaiki aturan tentang penerima BOS Reguler.
Kemungkinan Kemendikbud keliru, ini bukan kali yang pertama. Sebelumnya juga merevisi Peta Jalan Pendidikan dengan mengakomodasi frasa 'agama'.
Kali ini, untuk memenuhi hak konstitusional setiap peserta didik yang berada di sekolah kecil, koreksi aturan BOS Reguler suatu keharusan. ***
0 komentar:
Posting Komentar