Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Licik, Penguasa Perberay Beban Rakyat!

Artikel Halaman 12, Lampung Post Sabtu 04-09-2021
Licik, Penguasa Perberat Beban Rakyat!
H. Bambang Eka Wijaya

PENGUASA yang baik selalu berusaha untuk meringankan beban hidup rakyat. Lain cerita yang justru secara licik memperberat beban hidup rakyat, menghilangkan premium ganti pertalite, lalu pertalite diganti pertamax: memperberat beban rakyat nyaris 50%.
Bagi kelompok berpenghasilan menengah ke atas, hal itu tak terasa memberatkan. Tapi bagi warga kelas bawah, apalagi ojek pangkalan dan sopir angkot yang semakin langka penumpang, amat memperberat penderitaan meski cuma bisa menangis dalam hati.
Ternyata itu saja belum cukup. Ada dua hal lagi yang seiring memperparah penderitaan rakyat. Pertama distribusi solar sekarang mulai antre di SPBU. Bayangkan kalau truk harus antre lama, waktu cari uangnya terganggu.
Bukan hanya nenyusahkan sopir truk, tapi juga meningkatkan biaya logistik yang menurut menteri keuangan, biaya logistik Indonesia tertinggi di dunis (24% dari PDB). Dengan memaksa truk sulit mendapatkan solar hingga harus antre, apakah agar biaya logistik Indonesia menjadi tertinggi dunia-akhirat?
Kedua, sudah masuk ke DPR rancangan kenaikan tarip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Alasannya, banyak negara lain sudah kebih dahulu melakukannya. Dengan kenaikan PPN 2%, secara otomatis akan neningkatkan beban hiduo rakyat setara.
Alasan negara lain sudah kebih dahulu menaikkan PPN jadi 12%, sebaiknya tidak dipakai serampangan. Sebab, negara-negara yang lebih dahulu menaikkan PPN 12% itu pendapatan per kapita rakyatnya tinggi. Seperti Singapura dan Jepang di atas 40 ribu dolar. Sedangkan Indonesia rendah, hanya 3.875 dolar AS.
Itu pun, ketimpangan pendapatan di Indonesia lebih tajam. Lebih 27 juta penduduk konsumsinya di bawah garis kemiskinan Rp465 ribu per bulan. Kalau dibebani PPN 12%, habis sari makanannya tersedot pajak.
Oleh karena itu, sudah saatnya penguasa menyadari kondisi penderitaan rakyat yang amat berat memikul beban akibat kelicikan. Utamanys dengan mengubah perilaku pantang tak hebat menjadi perilaku seadanya alias menyesuaikan dangan situasi dan kondisi (sikon). Lebih-lebih sikon pandemi Covid-19.
Misalnya, sedang susah diterjang pandemi, jangan pula sopir truk dipersusah lagi antre mendapatkan solar. Keterlaluan namanya itu.
Jangan cuma gemar meneriakkan yel atau slogan "Indonesia hebat!", padahal rakyat terseok-seok keberatan memikul beban hidup di pundaknya. Sesuaikan retorika dan kebijakan dengan situasi dan kondisi rakyat yang sedang terkapar akibat pandemi. ***




0 komentar: