SENTIMEN positif buruknya data tenaga kerja Amerika Serikat (AS)
terhadap nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG)
berlanjut ke Selasa (6/10), rupiah tembus ke Rp14.200 per dolar AS dan
IHSG naik ke level 4.400.
Penguatan rupiah di pasar spot mencapai Rp14.263 per dolar AS pada pukul 09.00, Selasa, cukup signifikan dibanding penutupan akhir pekan pada posisi Rp14.716/dolar AS. Demikian pula IHSG, Senin (5/10), ditutup menguat 135,9 poin (3,23%) di posisi 4.343,70, pada pembukaan perdagangan Selasa pagi melesat lagi hingga 70,65 poin (1,63%) ke level 4.414,35. (Kompas.com/detik-finance, 6/10)
Dengan buruknya data tenaga kerja AS September 2015, kalangan investor di Wall Street sudah yakin The Federal Reserve (The Fed) tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya dari nol persen. Indeks Dow Jones dan indeks S&P pun melonjak tinggi. Ini diikuti bursa Asia Pasifik yang melanjutkan lonjakan Senin. Pada Selasa pagi, indeks Nikkei 225 Tokyo melonjak lagi 298,23 poin (1,66%). Indeks Hang Seng Hong Kong naik 182,45 poin (0,83%). Dan indeks Straits Times naik 30,78 poin (1,08%).
Momentum penguatan rupiah dan IHSG terpicu oleh sentimen positif eksternal ini sebaiknya dijaga oleh Bank Indonesia (BI) dan kabinet pemerintahan Jokowi-JK agar mampu memperingan tekanan pelemahan ekonomi.
Kegaduhan polemik antara BI dan kabinet terkait komitmen penyesuaian harga BBM berkala setiap tiga atau enam bulan sebaiknya dihentikan. Kalau kabinet mau melanggar komitmen itu silakan saja asal membantu kondisi ekomomi semakin kondusif. Termasuk kalaupun penurunan harga BBM itu untuk pencitraan sekalipun, silakan! Percepat dan perbesar penurunan harganya agar cukup kuat memengaruhi penurunan harga bahan pokok.
Memang, penurunan harga BBM itu baru bermakna bagi rakyat jika bisa membawa ikut turun harga barang-barang kebutuhan pokok, beras, gula, minyak goreng dan sebagainya. Tapi tabiat harga kebutuhan pokok di negeri kita agak aneh, kalau ada sentimen negatif cepat berpacu naik, sedangkan kalau ada sentimen positif, tak serta-merta turun. Selalu perlu katalisator untuk memengaruhi agar harga barang kembali turun. Semisal, operasi pasar.
Semua itu perlu dilakukan untuk mendukung penguatan rupiah dan mengendurkan iklim ekonomi dari kondisi tertekan berkepanjangan. Seiring dengan itu pula, patokan nilai rupiah dalam APBN pada Rp13.900 per dolar AS juga segera bisa terwujud. Dan semua itu tercapai berkat data tenaga kerja AS buruk! ***
Penguatan rupiah di pasar spot mencapai Rp14.263 per dolar AS pada pukul 09.00, Selasa, cukup signifikan dibanding penutupan akhir pekan pada posisi Rp14.716/dolar AS. Demikian pula IHSG, Senin (5/10), ditutup menguat 135,9 poin (3,23%) di posisi 4.343,70, pada pembukaan perdagangan Selasa pagi melesat lagi hingga 70,65 poin (1,63%) ke level 4.414,35. (Kompas.com/detik-finance, 6/10)
Dengan buruknya data tenaga kerja AS September 2015, kalangan investor di Wall Street sudah yakin The Federal Reserve (The Fed) tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya dari nol persen. Indeks Dow Jones dan indeks S&P pun melonjak tinggi. Ini diikuti bursa Asia Pasifik yang melanjutkan lonjakan Senin. Pada Selasa pagi, indeks Nikkei 225 Tokyo melonjak lagi 298,23 poin (1,66%). Indeks Hang Seng Hong Kong naik 182,45 poin (0,83%). Dan indeks Straits Times naik 30,78 poin (1,08%).
Momentum penguatan rupiah dan IHSG terpicu oleh sentimen positif eksternal ini sebaiknya dijaga oleh Bank Indonesia (BI) dan kabinet pemerintahan Jokowi-JK agar mampu memperingan tekanan pelemahan ekonomi.
Kegaduhan polemik antara BI dan kabinet terkait komitmen penyesuaian harga BBM berkala setiap tiga atau enam bulan sebaiknya dihentikan. Kalau kabinet mau melanggar komitmen itu silakan saja asal membantu kondisi ekomomi semakin kondusif. Termasuk kalaupun penurunan harga BBM itu untuk pencitraan sekalipun, silakan! Percepat dan perbesar penurunan harganya agar cukup kuat memengaruhi penurunan harga bahan pokok.
Memang, penurunan harga BBM itu baru bermakna bagi rakyat jika bisa membawa ikut turun harga barang-barang kebutuhan pokok, beras, gula, minyak goreng dan sebagainya. Tapi tabiat harga kebutuhan pokok di negeri kita agak aneh, kalau ada sentimen negatif cepat berpacu naik, sedangkan kalau ada sentimen positif, tak serta-merta turun. Selalu perlu katalisator untuk memengaruhi agar harga barang kembali turun. Semisal, operasi pasar.
Semua itu perlu dilakukan untuk mendukung penguatan rupiah dan mengendurkan iklim ekonomi dari kondisi tertekan berkepanjangan. Seiring dengan itu pula, patokan nilai rupiah dalam APBN pada Rp13.900 per dolar AS juga segera bisa terwujud. Dan semua itu tercapai berkat data tenaga kerja AS buruk! ***
0 komentar:
Posting Komentar