ERA booming harga komoditas tinggi telah berakhir. Kini harga komoditas kelapa sawit, karet, batu bara, dan mineral jatuh. Oleh karena itu, harus dibangun sektor unggulan baru berbasis komoditas tersebut yang bisa dijadikan andalan ekonomi nasional ke depan.
Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, situasi saat ini mirip yang dihadapi Indonesia pada medio 1980-an, ketika harga minyak bumi anjlok sampai di bawah 10 dolar AS per barel.
Padahal, minyak bumi sumber pendapatan utama Indonesia ketika itu. Sebagai antisipasi, pemerintah waktu itu melakukan deregulasi untuk menciptakan unggulan baru, industri manufaktur. Usaha itu berhasil mengalihkan ketergantungan dari pendapatan migas ke sektor riil, tetapi hancur lagi pada krismon 1998 (detik-finance, 16/10).
Deregulasi yang dilakukan pemerintah sekarang dengan kebijakan ekonomi paket I sampai IV, kata Bambang, untuk menciptakan unggulan baru dengan menghidupkan industri pengolahan berbasis sumber daya alam (komoditas) dan pembangunan infrastruktur. Dengan unggulan baru ini, sebagai sumber pertumbuhan ke depan, ekspor sumber daya alam dalam bentuk mentah sudah harus ditinggalkan.
"Ekspor CPO harus diganti ekspor biodiesel, ekspor bauksit diganti ekspor aluminium," kata dia. Menciptakan sektor unggulan baru sebagai landasan ekonomi ke depan dengan membangun industri manufaktur (mengolah bahan mentah menjadi barang layak pajang di toko) merupakan idaman sepanjang reformasi, tetapi selalu kandas.
Malah sebaliknya, industri manufaktur dari Indonesia pindah ke Vietnam, Thailand, bahkan Tiongkok. Rencana investasi pun banyak yang terbenam di buku daftar dan janji. Semua itu terjadi akibat buruknya iklim usaha di negeri ini. Lantas, apakah dengan deregulasi terakhir ini, buruknya iklim usaha itu bisa diatasi?
Sejauh ini, pemerintahan pasca-Orde Baru selalu kurang berhasil memobilisasi birokrasi menjalankan sepenuhnya kehendak yang berkuasa. Era Jokowi-JK juga buruk tecermin dari macetnya penyerapan anggaran.
Maksudnya, deregulasi tidak cukup hanya membuat SK dan aturan kalau hanya berjalan sebatas de jure, sedangkan de facto-nya sebagai sistem yang efektif berlaku tidak berubah. Itu yang membuat iklim usaha kurang kondusif.
Kecuali investor Tiongkok yang memburu proyek infrastruktur dan pertambangan sampai ke ujung bumi untuk memanfaatkan limpahan dana murah di negerinya, investor manufaktur padat karya kurang tertarik pada negeri yang penguasanya haus popularitas dari buruh. ***
0 komentar:
Posting Komentar