MK—Mahkamah Konstitusi—Selasa (29/9) membuat dua keputusan terkait
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Pertama, calon tunggal
dipilih lewat sistem referendum. Kedua, calon perseorangan didukung KTP
7,5% dari daftar pemilih tetap (DPT)—sebelumnya 7,5% dari jumlah
penduduk.
Pemilihan dengan sistem referendum dimaksud, setiap pemilih saat masuk bilik tempat mencoblos mendapat surat suara dengan dua pilihan, "Setuju" dan "Tidak". Kalau memilih mendukung sang calon tunggal menjadi kepala daerah, dia pilih kolom "Setuju". Kalau tidak mendukung, pilih kolom "Tidak".
Jika hasil penghitungan suara "Setuju" unggul atau menang, maka sang calon tunggal terpilih jadi kepala daerah. Tapi kalau pilihan "Tidak" yang menang, si calon tunggal gagal jadi kepala daerah, pemilihan kepala daerah akan dilakukan lagi pada pemilukada periode berikutnya. Sampai ada kepala daerah definitif hasil pemilukada, daerah bersangkutan dipimpin oleh seorang pelaksana tugas (plt).
Putusan MK tentang calon tunggal dipilih dengan sistem seperti referendum itu tidak diputus dengan suara bulat oleh sembilan hakim MK. Hakim konstitusi Patrialis Akbar menyampaikan pendapat yang berbeda dari hakim-hakim lainnya (dissenting opinion).
Menurut Patrialis, pemilihan untuk memilih kepala daerah adalah subjek hukum. Subjek hukum tersebut adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan perundang-undangan. Karena itu, calon kepala daerah sebagai subjek hukum tidak dapat disandingkan dengan nonsubjek hukum, seperti kolom setuju atau tidak setuju dalam referendum. (Kompas.com, 29/9)
Pemilukada bukanlah referendum, melainkan suatu kontestasi berupa pemilihan dari beberapa pilihan, tegas Patrialis. Ia mengkhawatirkan terjadinya penyeludupan hukum jika calon tunggal tetap dibenarkan. Misalnya, terjadi liberalisasi oleh para pemilik modal untuk membeli partai politik sehingga ada hanya satu calon yang bisa maju pemilukada.
Calon tunggal sering terjadi karena petahana dinilai terlalu kuat sehingga calon-calon lain tak mau berbuat sia-sia, arang habis besi binasa. Tapi dengan putusan MK ini, petahana yang sebenarnya tidak cukup kuat pun dengan penguasaan sumber daya dan lapangan bisa saja memborong semua partai untuk tampil jadi calon tunggal.
Terbukanya kemungkinan begitu, MK meringankan syarat calon perseorangan. Tokoh yang benar-benar mumpuni, akan bisa mengalahkan petahana yang asal borong partai, tapi sesungguhnya tidak benar-benar kuat. ***
0 komentar:
Posting Komentar