PEMERINTAH berencana merekrut 100 juta kader bela negara mulai tahun ini.
"Saya harapkan 10 tahun ke depan sudah ada 100 juta kader bela negara. Kader-kader bela negara bertugas melakukan pertahanan negara jika sewaktu-waktu negara mendapat ancaman, baik nyata maupun belum nyata," ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. (Kompas.com, 12/8)
Rencana tersebut pekan ini jadi wacana publik, terutama di Komisi I DPR—yang membidangi hal itu. Jika 100 juta orang dalam 10 tahun, per tahun 10 juta orang. Pendidikannya dilakukan 50 minggu setahun, (seminggu Lebaran dan Tahun Baru libur), berarti per minggu harus selesai dididik sebanyak 200 ribu orang.
Bisa diperkirakan mendidik orang sebanyak itu dengan mengasramakan satu minggu untuk menggembleng fisik dan mentalnya. Sebanyak 200 ribu orang dibagi 500 kabupaten/kota, seminggu setiap daerah tingkat II harus mendidik 400 orang atau 1.600 orang per bulan. Seandainya yang diterapkan pendidikan bela negara model di SKI Kodam V Jaya (detik.com, 13/10), biaya pendidikan per orang untuk akomodasi asrama, konsumsi (memenuhi standar gizi), dan seragam (sepasang baju seperti hansip dan kaus training) setidaknya per orang Rp1 juta seminggu. Itu di luar honor instruktur dan sewa lokasi kegiatan.
Kebutuhan biaya minimum per kabupaten/kota Rp1,6 miliar per bulan, atau Rp19,2 miliar per tahun. Untuk 500 kabupaten/kota, Rp9,6 triliun. Jumlah yang kecil kalau disisihkan dari anggaran Kementerian Pertahanan, dengan mengurangi belanja alutsista atau uang lauk-pauk prajurit.
Karena itu, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin tak mempermasalahkan biaya. Tapi, pemerintah hingga kini belum memiliki dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bela negara. Sementara untuk menjalankan program tersebut perlu payung hukum yang tegas.
"Tanpa UU Bela Negara dan tanpa aturan pendukungnya, akan sulit untuk mewujudkan kebijakan dan upaya bela negara itu," tegas Hasanuddin. (Kompas.com, 13/10)
Sementara Hendardi dari Setara Institute tidak setuju dengan rencana pemerintah itu. Menurut dia, dalam rilisnya, pendidikan bela negara bukan sebuah proyek kementerian, melainkan strategi pendidikan nasional yang menghasilkan warga negara berkarakter dan memiliki semangat pembelaan terhadap negara dan bangsa.
Pendidikan karakter seperti itu selama ini dilakukan dalam pramuka, yang diintegrasikan dalam pendidikan formal SD, SMP, dan SMA. Kalau hasilnya kurang mantap, tentu programnya yang disimak ulang. ***
"Saya harapkan 10 tahun ke depan sudah ada 100 juta kader bela negara. Kader-kader bela negara bertugas melakukan pertahanan negara jika sewaktu-waktu negara mendapat ancaman, baik nyata maupun belum nyata," ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. (Kompas.com, 12/8)
Rencana tersebut pekan ini jadi wacana publik, terutama di Komisi I DPR—yang membidangi hal itu. Jika 100 juta orang dalam 10 tahun, per tahun 10 juta orang. Pendidikannya dilakukan 50 minggu setahun, (seminggu Lebaran dan Tahun Baru libur), berarti per minggu harus selesai dididik sebanyak 200 ribu orang.
Bisa diperkirakan mendidik orang sebanyak itu dengan mengasramakan satu minggu untuk menggembleng fisik dan mentalnya. Sebanyak 200 ribu orang dibagi 500 kabupaten/kota, seminggu setiap daerah tingkat II harus mendidik 400 orang atau 1.600 orang per bulan. Seandainya yang diterapkan pendidikan bela negara model di SKI Kodam V Jaya (detik.com, 13/10), biaya pendidikan per orang untuk akomodasi asrama, konsumsi (memenuhi standar gizi), dan seragam (sepasang baju seperti hansip dan kaus training) setidaknya per orang Rp1 juta seminggu. Itu di luar honor instruktur dan sewa lokasi kegiatan.
Kebutuhan biaya minimum per kabupaten/kota Rp1,6 miliar per bulan, atau Rp19,2 miliar per tahun. Untuk 500 kabupaten/kota, Rp9,6 triliun. Jumlah yang kecil kalau disisihkan dari anggaran Kementerian Pertahanan, dengan mengurangi belanja alutsista atau uang lauk-pauk prajurit.
Karena itu, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin tak mempermasalahkan biaya. Tapi, pemerintah hingga kini belum memiliki dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bela negara. Sementara untuk menjalankan program tersebut perlu payung hukum yang tegas.
"Tanpa UU Bela Negara dan tanpa aturan pendukungnya, akan sulit untuk mewujudkan kebijakan dan upaya bela negara itu," tegas Hasanuddin. (Kompas.com, 13/10)
Sementara Hendardi dari Setara Institute tidak setuju dengan rencana pemerintah itu. Menurut dia, dalam rilisnya, pendidikan bela negara bukan sebuah proyek kementerian, melainkan strategi pendidikan nasional yang menghasilkan warga negara berkarakter dan memiliki semangat pembelaan terhadap negara dan bangsa.
Pendidikan karakter seperti itu selama ini dilakukan dalam pramuka, yang diintegrasikan dalam pendidikan formal SD, SMP, dan SMA. Kalau hasilnya kurang mantap, tentu programnya yang disimak ulang. ***
0 komentar:
Posting Komentar