"KALAU Elia M Harris yang kemudian jadi Elia Kadam gembira mendapat oleh-oleh boneka saat ayahnya pulang dari India, apa oleh-oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pulang dari Amerika?" tanya Umar.
"Oleh-oleh dari Amerika kesepakatan bisnis senilai 20,075 miliar dolar AS atau sekitar Rp270 triliun!" jawab Amir.
"Menurut Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana, kesepakatan yang terjalin dengan para pengusaha anggota US Chamber of Commerce atau Kadin AS itu antara lain dalam bentuk foreign direct investment (FDI—investasi asing langsung)." (Kompas.com, 27/10).
"Cuma 20 miliar dolar?" sambut Umar. "Kecil amat? Tak ada separuh oleh-oleh Jokowi waktu pulang dari Tiongkok, senilai 50 miliar dolar AS, cukup untuk membangun jalan tol trans-Sumatera (JTTS) hingga proyeknya bisa langsung dikerjakan, serta proyek infrastruktur lainnya."
"Tapi, lumayanlah ada oleh-oleh, daripada pulang tangan kosong," timpal Amir. "Itu belum termasuk hasil pertemuan menteri dan CEO bisnis start-up Indonesia dengan para pengusaha bisnis kreatif di Silicon Valley, yang diharapkan menghasilkan kesepakatan business to business, kerja sama antarperusahaan."
"Nah, itu! Kesepakatan business to business yang aku suka!" tegas Umar.
"Karena, dengan begitu bisa terjadi transfer teknologi dan skill bisnis pada usaha domestik. Bukan investasi asing langsung, yang menjadikan warga lokal hanya sebagai kuli. Dahulu pernah ada aturan investasi asing bisa masuk hanya melalui kerja sama dengan perusahaan lokal (joint venture), dengan pembagian saham minimal 51% untuk perusahaan lokal." "Itu kuno!" tukas Amir.
"Sekarang zamannya neoliberalisme, era foreign direct investment sebagai model paling ideal. Lagi pula, hanya lewat investasi asing langsung penguasa bisa memberikan secara face to face pada investor asing segala fasilitas dan kemudahan investasi di negerinya. Dengan begitu, sang penguasa juga popular di kalangan pengusaha asing."
"Tapi mesakne! Kasihan aku melihat Presiden," keluh Umar. "Masak Presiden langsung yang harus nretehek keliling dunia meminta-minta bantuan investasi ke negara-negara kaya? Seharusnya negara ini punya tata cara yang sedikit gengsi dalam meminta-minta bantuan investasi itu. Seperti pada zaman Pak Harto, ada Sudjono Humardani yang melobi pengusaha Jepang, tak perlu presiden langsung yang harus datang membungkuk-bungkuk." "Sekarang zaman pemilihan langsung!" tegas Amir. "Setiap prestasi harus bisa diklaim sebagai jerih payah penguasa!" ***
"Karena, dengan begitu bisa terjadi transfer teknologi dan skill bisnis pada usaha domestik. Bukan investasi asing langsung, yang menjadikan warga lokal hanya sebagai kuli. Dahulu pernah ada aturan investasi asing bisa masuk hanya melalui kerja sama dengan perusahaan lokal (joint venture), dengan pembagian saham minimal 51% untuk perusahaan lokal." "Itu kuno!" tukas Amir.
"Sekarang zamannya neoliberalisme, era foreign direct investment sebagai model paling ideal. Lagi pula, hanya lewat investasi asing langsung penguasa bisa memberikan secara face to face pada investor asing segala fasilitas dan kemudahan investasi di negerinya. Dengan begitu, sang penguasa juga popular di kalangan pengusaha asing."
"Tapi mesakne! Kasihan aku melihat Presiden," keluh Umar. "Masak Presiden langsung yang harus nretehek keliling dunia meminta-minta bantuan investasi ke negara-negara kaya? Seharusnya negara ini punya tata cara yang sedikit gengsi dalam meminta-minta bantuan investasi itu. Seperti pada zaman Pak Harto, ada Sudjono Humardani yang melobi pengusaha Jepang, tak perlu presiden langsung yang harus datang membungkuk-bungkuk." "Sekarang zaman pemilihan langsung!" tegas Amir. "Setiap prestasi harus bisa diklaim sebagai jerih payah penguasa!" ***
0 komentar:
Posting Komentar