Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Data Tenaga Kerja AS Buruk!

DATA tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis Jumat (2/10) ternyata buruk. Data nonfarm payroll September 2015 dari prediksi 201 ribu turun hanya menjadi 142 ribu. Begitu juga dengan upah tenaga kerja mengempis dari 0,4% menjadi 0,0% (Kompas.com, 5/10).
Data tenaga kerja itu merupakan indikasi solidnya ekonomi AS. Jika data itu buruk, berimbas pada kepercayaan pasar terhadap ekonomi AS bisa menipis, demikian pula indeks dolar AS bisa merosot.

Imbas itu terlihat langsung pada respons pasar saham dunia. Bursa di kawasan regional Asia Timur pada Senin (5/10) pagi dibuka langsung melejit hijau. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,99%, indeks Hangseng Hong Kong melonjak 1,97%, dan indeks Shanghai Tiongkok naik 0,48%.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI) yang buka dua jam setelah Nikkei dan Hangseng itu tentu saja ikut menikmati sentimen positif bursa regional itu dengan tembus level psikologis 4.300 pada pukul 09.20 pada posisi 4.302,23 atau melonjak 2,24%. IHSG dibuka pada posisi 4.243,33, naik 35,53 poin dibanding penutupan Jumat lalu.

Demikian pula nilai tukar rupiah yang pada penutupan Jumat pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) melemah 0,38% di level Rp14.709 per dolar (Kompas.com, 5/10). Pada Senin (5/10), pukul 10.24, sudah meninggalkan level 14.600 dan pada pukul 10.42 sudah menguat 91 poin di posisi Rp14.555 per dolar (Bisnis.com, 5/10).

Sentimen positif bagi IHSG dan rupiah sebagai imbas buruknya data tenaga kerja AS itu tentu harus segera didukung langkah dan usaha-usaha konkret untuk mendukungnya, mengimbangi berlanjutnya ekses negatif pelambatan ekonomi dan merosotnya harga komoditas.
Misalnya, rencana untuk menurunkan harga BBM dan tarif listrik industri harus secepatnya diwujudkan agar tak terlalu lama sebagai wacana.

Juga, tidak terpaku hanya pada harga BBM dan tarif listrik industri, masih banyak langkah lain lagi dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli rakyat yang sudah terpuruk terlalu parah dewasa ini, hingga melongsorkan ratusan ribu orang ke jurang di bawah garis kemiskinan.
Misalnya, menajamkan fokus bantuan ke para pekerja (buruh tani) subsektor perkebunan rakyat yang harga komoditasnya sedang jatuh, seperti sawit dan karet.

Bisa dibayangkan nasib buruh taninya ketika harga tandan buah segar (TBS) sawit di Lampung Selatan hanya Rp400 per kg. Pokoknya daya beli rakyat akar rumput butuh perhatian lebih serius ketimbang investor yang masih enggan masuk. ***

0 komentar: