"Mimpi apa kau siang bolong begini?" entak Amir yang menyetir. "Boro-boro Jakarta, Bakauheni saja belum!"
"Apa?" Umar tersentak, bangun. "Sampai mana kita?"
"Macet akibat badan jalan ambles di kilometer 79-80 Bandar Lampung--Bakauheni!" jawab Amir. "Jalan alternatif lewat Palas--Ketapang juga harus dialihkan, karena jalan antarkecamatan itu tak mampu menahan beban truk dan tronton!"
"Sialan!" keluh Umar. "Rupanya aku cuma mimpi lewat tol Tegineneng--Bakauheni, masuk jembatan Selat Sunda (JSS) tembus tol Merak--Jakarta! Maka itu, jalanan macet ini tadi kukira di Jakarta! Kenyataannya bukan tol dan JSS, malah jalan raya Lampung ambles!"
"Bukan cuma ambles, juga berhantu!" timpal Amir.
"Ah, masa kau percaya takhayul?" sergah Umar.
"Bukan takhayul!" bantah Amir. "Sudah puluhan truk material urukan dituang ke lubang besar dan dalam yang menganga di tengah jalan itu, tapi tak kunjung penuh! Sekali sempat rata di permukaan, tapi ambles lebih dalam lagi! Menurut perkiraan pihak yang bertanggung jawab mengatasinya, bulan Juni nanti diharapkan selesai!"
"Bulan Juni? Itu "Kalau begitu bukan kutukan danyang atau roh penguasa jalan raya! Tapi kutukan alam atas kelalaian memperhatikan dan merawat semua fasilitas saluran air di kiri-kanan jalan dan yang melintas di bawahnya!" timpal Amir. "Kelalaian itu bisa terjadi karena terlalu larut dalam impian jalan tol dan JSS, padahal menurut Staf Ahli gubernur Lampung, Ashori Djausal, semua itu cuma wacana!" (Lampung Ekspres Plus, [1-3]) "Berarti kita seperti pungguk merindukan bulan, mimpi menggapai bintang-bintang di langit tapi lupa pada rumput di bumi!" tegas Umar. "Jalan ambles itu mengingatkan kita untuk kembali ke realitas yang harus dihadapi dan diperlakukan dengan adil--tak cuma larut dalam mimpi!"
0 komentar:
Posting Komentar