"KENAPA kali ini ujian nasional (UN) terkesan amat menakutkan, murid jadi stres, ada yang sampai menggelar istigasah segala?" tanya Umar.
"Mungkin akibat penguasa melakukan gerakan taktis seperti perang dalam usaha memenangkan kebijakannya untuk tetap menggelar UN!" jawab Amir. "Dimulai dari perang urat saraf (kontra isu) mementahkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tentang UN yang mengamarkan hanya bisa dilaksanakan setelah syarat pemerataan fasilitas dan kualitas pendidikan dipenuhi! Lalu, serangan dadakan memajukan jadwal UN dari sebelumnya awal Mei atau akhir April, jadi Maret! Proses itu amat terasa bobot pemaksaannya, hingga murid tertekan dan tegang!"
"Gaya otoriter begitu bisa membuat shock bukan hanya murid, melainkan juga guru dan pengelola pendidikan!" sambut Umar. "Soalnya, praktek pendidikan kita sudah satu dekade--sejak era reformasi--telah meninggalkan gaya seperti itu! Pendekatan lebih demokratis makin kuat dengan kehadiran komite sekolah, dengan aktifnya dewan guru! Proses belajar-mengajar tak ketinggalan, juga bergeser dari instruksional ke siswa aktif partisipatif! Jadi, munculnya gaya otoriter dengan taktik perang itu bisa membuat murid tertekan dan akhirnya tercekam ketakutan!"
"Karena itu, penguasa bidang pendidikan diharap tidak terbenam dalam kapsul kekuasaan!" tegas Amir. "Lihat keluar kapsul realitas pendidikan nasional yang masih memprihatinkan--berita bangunan sekolah roboh beruntun dari satu daerah ke daerah lain! Jadi, jangan paksakan standar mobil BMW kepada seluruh rakyat, padahal realitasnya mobil odong-odong yang ada di pelosok bannya kempis--itu inti putusan MA!"
"Apalagi untuk itu dipaksakan dengan taktik perang yang menegangkan hingga membuat anak-anak tercekam ketakutan!" timpal Umar. "Bandingkan, serangan teroris saja tak membuat warga dan murid seantero negeri tercekam ketakutan sedalam yang dialami saat menghadapi UN! Apakah memang begitu cara menjalankan kekuasaan yang benar?"
"Artinya, keluar dari kapsul kekuasaan itu selain melihat realitas masyarakat, juga untuk melihat konteks dalam pemerintahan seperti apa kekuasaannya itu dijalankan!" tegas Amir. "Kan aneh, ketika rakyat menikmati nyamannya hidup dalam pemerintahan yang demokratis, tiba-tiba dientak oleh gaya otoriter kekuasaan yang merupakan salah satu unsur pemerintahan itu sendiri! Untung saja rakyat tak seperti orang buta mengenali gajah dari bentuk bagian tubuh yang dirabanya! Jika sampai begitu, rakyat akan sebut secara umum pemerintah sekarang ini otoriter!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Jumat, 26 Maret 2010
Taktik Perang Memenangkan Kebijakan UN!
Label:
Mahkamah Agung,
odong-odong,
otoriter,
UN
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar