"NASIONALISME, semangat kebangsaan dan cinta tanah air itu harga mati--tak bisa ditawar-tawar!" ujar Umar. "Namun, bentuk dan sifatnya beragam! Ada yang verbal--terbuka--dinyatakan dengan lantang, stereotipe! Tapi ada sebaliknya, tertutup, tak banyak cincong, mengendap dalam darah daging hingga mengendalikan subjeknya dengan refleks bawah sadar! Mana yang lebih baik?"
"Keduanya baik, asal tidak berlebihan!" sambut Amir. "Nasionalisme verbal kalau berlebihan jadi chauvinistik--merasa bangsa dan negeri sendiri yang paling baik dan paling benar, lantas menilai rendah dan buruk segala yang asing! Akibatnya, bangsa dan nasionalismenya malah dikarantina agar jangan terpengaruh nilai-nilai asing!"
"Apa buruknya yang begitu?" potong Umar.
"Nasionalismenya jadi terlalu steril dari pengaruh asing, hingga beku--kurang cepat berkembang!" tegas Amir. "Artinya, kemajuan sih ada, tapi lebih lambat dari negeri-negeri yang memanfaatkan secara total inner dan outer push factor! Apalagi kalau inner factor-nya malah digembosi oleh korupsi, mafia hukum, makelar kasus dan manipulator pajak! Alhasil, negeri lain maju sepuluh langkah, kita cuma selangkah!"
"Kalau nasionalisme bawah sadar, apa buruknya?" kejar Umar.
"Karena merasa telah mendarah daging, sehingga nasionalisme membiologis dalam mengarahkan perilaku, bawah sadar mendorong subjeknya senantiasa mengekspresikan nasionalisme, jadi terlalu percaya diri!" tegas Amir. "Segala bentuk infiltrasi berusaha merasukinya tak khawatir bisa membuatnya masuk angin! Kalau nasionalisme sudah membiologis di bawah sadar, dijamin kebal dari masuk angin! Rasa percaya diri ini membuat perubahan kecil-kecil tak diwaspadai, sampai akhirnya tanpa disadari nasionalismenya kopong, isinya berganti ideologi lain--tinggal terlihat sebagai kepompong, sedang yang dominan menggerakkan sikap dan perilaku, bahkan kepercayaan untuk mencapai impiannya, justru neoliberalisme! Ini sekadar contoh!"
"Lantas, bagaimana yang terbaik?" tanya Umar.
"Terbaik itu yang tidak keterlaluan! Seperti lagu dangdut, yang sedang-sedang saja!" jawab Amir. "Verbal tapi tidak bablas sampai chauvinis! Bawah sadar, tapi tidak sampai mati rasa--lupa ancaman selalu mengintai!"
"Tapi bagaimana kalau dari kedua sisinya sudah membawa terlalu jauh akibat buruk?" kejar Umar.
"Dikembalikan ke posisi semestinya!" tegas Amir. "Proses itu namanya restorasi!
Artinya reka ulang dari awal bentuk, sifat, dan posisi yang benar dari nasionalisme kita! Itulah renungan kita di Hari Kebangkitan Nasional ini!"
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Rabu, 19 Mei 2010
Nasionalisme Verbal, atau Bawah Sadar?
Label:
dangdut,
nasional demokrat
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar