Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Menanam Modal!

Bosan bermain di bursa saham yang lesu berkepanjangan akibat banyak perusahaan (r)MDRVgo public(r)MDNM rontok dilanda krisis, Adolf mengasingkan diri jauh ke pelosok untuk menanam modal. Ia beli sebidang lahan di lokasi peternakan.
Pagi tiba, sorenya ia berkunjung ke tetangga, peternak ayam. Mendengar niat Adolf, tetangga itu bermurah hati memberinya bibit ayam seratus ekor sebagai pemula.
Dua minggu kemudian tetangga itu jumpa Adolf di jalan. “Bagaimana ayamnya?” ia tanya Adolf.
“Kurang baik!” jawab Adolf. “Seratus ekor anak ayam itu mati semua!”
“Jangan putus asa!” tegas tetangga. “Aku juga pernah mengalami hal serupa!” Sang tetangga pun memberinya bibit ayam seratus ekor lagi.
Sepuluh hari kemudian keduanya bertemu. “Bagaimana ayamnya?” tanya tetangga.
“Sukar kupercaya! Seratus ekor kedua bibit ayam itu mati lagi!” jawab Adolf. “Aku tak tahu pasti, apakah karena aku menanamnya terlalu dalam, atau bagaimana?”
“Apa? Anak-anak ayam itu kautanam?” tukas tetangga terperangah.


“Namanya juga menanam modal!” timpal Adolf. “Harus bagaimana lagi?”
“Ya ampun!” kesah tetangga. “Menanam modal dalam peternakan ayam bukan berarti anak ayamnya ditanam seperti bibit kentang atau bawang! Maaf, aku yang keliru! Karena kau orang kota, kukira lebih pintar soal ayam seperti orang-orang kota yang datang mengajari kami!”
“Saya orang kota yang berbeda! Selama ini menangani penanaman modal, tapi tak tahu bagaimana modal itu dioperasikan hingga bisa berkembang biak!” ujar Adolf. “Kalau begitu, saya harus belajar dulu di peternakanmu!”
“Silakan!” sambut tetangga. “Kini dapat kubayangkan bagaimana cara orang kota menangani penanaman modal, hingga banyak yang bangkrut, modal asing jadi enggan datang, bahkan modal lokal lebih aman parkir di luar negeri! Karena kalau dipaksakan masuk negeri ini, nasib modal itu paling mujur bakal seperti anak ayam yang ditanam dalam tanah!”
“Paling mujurnya begitu?” tukas Adolf. “Kurang mujurnya bisa lebih buruk lagi, dong!”
“Jelas!” timpal tetangga. “Setelah modal yang ditanam mati, sang penanam modal selaku pemegang saham bisa dipenjarakan kalau perusahaan yang dioperasikan direksi melakukan pelanggaran hukum! Yurisprudensi untuk itu sudah tersedia!”
“Siapa yang mau menanam modal di negeri kita, kalau jaminan keamanan modalnya kurang, sementara kalau direksi bersalah, pemegang saham yang tak tahu-menahu operasional perusahaan harus masuk bui!” tukas Adolf.
“Itulah masalahnya!” tegas tetangga. “Menanam modal di negeri ini bukan saja sama dengan menyerahkan bibit ayam untuk ditanam hidup-hidup dalam tanah, malah sang penanam modalnya harus siap untuk ikut ditanam bersama bibit ayamnya!”
“(r)MDRVGile(r)MDNM!” timpal Adolf. “Kalian dari pelosok jauh saja bisa melihat, betapa buruk prospek menanam modal di negeri kita!” ***

1 komentar:

19 Juni 2009 pukul 14.12 darmantokasan mengatakan...

Bagaimana Membangun Ekonomi Kerakyatan

Dari dulu sampai sekarang banyak pemimpin kita bicara tentang ekonomi kerakyatan. Setahu saya waktu disekolah, saya tidak pernah belajar tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan.

Selama saya sekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi saya belajar tentang Ekonomi Kooperasi. Sehingga dibentuk kooperasi sekolah dsb.

Tapi kenyataannya setelah semua belajar ekonomi koperasi, kooperasi kita tidak pernah berkembang menjadi besar, yang ada hanya group usaha perorangan (individual) yang terkenal misalnya :Bakrie group, Salim group, Kala group dan lain-lain, sehingga menciptakan orang-orang terkaya secara individu (tidak menciptakan/mewujudkan masyarakat yang kaya) sehingga menciptakan jurang yang lebar antara sekelompok orang kaya dan sebagian besar masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.

Lantas dimana letak koperasi yang kita semua pelajari dulu!!!
Sekarang ada lagi ekonomi kerakyatan!! Yang kita semua tidak pernah belajar dibangku sekolah!!

Menurut saya kalau ekonomi kooperasi bisa dikembangkan di setiap tempat, maka kita tidak perlu menunggu dan menunggu modal asing untuk pembangunan!! Kita ingat dulu masa jaman perjuangan seperti Garuda Indonesia Airways, rakyat Aceh bisa menanamkan modalnya untuk membeli pesawat. Padahal zaman dulu adalah zaman yang sulit.

Sejarah membuktikan kita bisa, mengapa kita tidak berbuat sesuatu sekarang!! Bersama itu juga dibarengi dengan peraturan-peraturan pemerintah (produk payung hukum) yang membantu dan melindungi usaha kooperasi; misalnya di sepanjang jalan raya antar propinsi atau dalam kota setiap 5 kilometer buatlah gedung kooperasi (sebagai pusat bisnis) dan dimiliki oleh orang setempat. Gedung tersebut dilengkapi dengan tempat parkir yang luas sebagai tempat usaha masyarakat dengan biaya sewa murah meriah dan parkir gratis. Dan yang mengusahakan juga orang setempat (sehingga membuka lapangan kerja). Maka setiap jalan menjadi teratur karena orang setempat juga ikut terlibat mengatur tata ruang daerah tersebut. Diikuti/dibarengi peraturan pemerintah atas larangan membuat bentuk usaha disepanjang jalan raya/utama/negara/pronpinsi kecuali melalui wadah kooperasi yang tempatnya memang sudah ditentukan. Sehingga jalanan menjadi teratur tidak ada kendaraan yang parkir disembarang tempat yang menimbulkan kemacetan dan bersih dari asap makanan seperti: Asap pembakaran sate kambing dsb. Disamping itu warga setempat akan terangkat kehidupan ekonominya secara bersama-sama sehingga jurang pemisah antara kaya miskin tidak terlalu jauh.

Kalau usaha ini dapat berkembang maka tak heran nantinya gedung-gedung besar, mall, supermarket dsb yang memilikinya adalah suatu bentuk kooperasi yang kepemilikannya adalah masyarakat setempat. Serta untuk biaya pembangunan tempat Ibadah (Masjid) bisa didanai oleh Kooperasi setempat (tidak lagi minta dana di pinggir-pinggir jalan).

Memang usaha ini harus dimulai walaupun dimulai dengan modal yang kecil tapi secara bersama-sama (sedikit-demi sedikit menjadi bukit)

Mungkin saran ini bisa membantu, sehingga setiap kooperasi berkembang menjadi besar dan maju disertai modal yang kuat menjadi mitra Pemerintah untuk menangani proyek-proyek besar, seperti pembangunan jalan tol, jembatan antar pulau, gedung-gedung bertingkat dan sebagainya.

Bagaimana pun pepatah mengatakan ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul dari zaman dulu kita selalu amalkan dengan gotongroyong; pasti kita bisa!!!!

wasalam