"KENAPA permainan tim bola kita berubah, tak lagi menggedor dengan umpan terobosan dari segala lini, malah cuma oper-operan?" tanya Edo.
"Tampaknya mereka jadi bermain taktis, pertanda segala strategi yang disiapkan gagal!" jawab Edi. "Di arena kelas dunia juga begitu, saat strategi menekan terus kandas, mereka ganti bermain taktis, possession football--yang penting tetap menguasai bola, sembari cari peluang terbaik!"
"Permainan bola seperti teori pembangunan juga, ya?" tukas Edo. "Ketika strategi yang tersusun dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) sesuai dengan janji penguasa--mengurangi jumlah orang miskin sekian persen, pengangguran sekian persen, lalu pertumbuhan jadi sekian persen--gagal, ganti bermain taktis dengan piecemeal engineering, rekayasa camilan, menonjolkan program taktis BLT, raskin, PNPM, dan sejenisnya!"
"Strategi pembangunan yang mencanangkan perubahan besar memang mudah menjadi utopis ketika dilakukan seperti strategi bola yang cuma mengandalkan kekuatan sendiri, tanpa diiringi perhitungan kekuatan penantang di lapangan!" timpal Edi. "Piecemeal engineering sebagai alternatif setelah gagalnya strategi perubahan besar utopis, pada kenyataannya hanya penting bagi penguasa agar tetap menguasai bola! Sebagai penambal kegagalan rencana yang ambisius, program taktis sejenis BLT hanya seperti aspirin, cuma untuk menghilangkan rasa sakit--derita kemiskinan--sejenak! Karena sebenarnya, program taktis piecemeal itu merupakan lawan paradigma rencana perubahan ambisius!"
"Maksudmu, piecemeal engineering itu sebuah paradigma tersendiri sehingga seharusnya ia juga dijalankan sebagai strategi yang konsisten sejak awal, bukan cuma penambal kegagalan rencana strategis yang ambisius?" kejar Edo.
"Bukan aku yang menyatakan begitu, melainkan Karl R. Popper!" tegas Edi. "Perencanaan yang strategis untuk melakukan perubahan besar itu menurut Popper konsep sosialis, sedang piecemeal social engineering yang mendorong perubahan dengan pemberdayaan masyarakatnya justru konsep liberal! Bukan berarti konsep sosialis semata-mata jelek! Kalau konsisten dengan perubahan besar yang dicanangkan, berarti berani melakukan reformasi total, bukan mustahil berhasil! Tapi di negeri kita kan tidak begitu!"
"Bagaimana rupanya?" kejar Edo.
"Perencanaan strategis perubahan besar di negeri kita justru dilakukan dengan pola piecemeal, seperti pertumbuhan dari lima persen dinaikkan jadi enam persen, pengangguran dari 11 persen ditekan jadi delapan persen, sedang sistem yang dipakai tak berubah, sistem lama juga!" jawab Edi. "Jelas tidak nyambung, seperti mesin Ford dipasangi onderdil Toyota! Bukan cuma tak cocok, malah rontok!"
"Jadi begitu nasib perubahan besar yang di-iming-kan dengan slogan bersama kita bisa?" tukas Edo. "Kalau begitu, 'lanjutkan!' program pembagian aspirin penghilang rasa sakit sejenak itu!" ***
0 komentar:
Posting Komentar