Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Sekolah Gratis, Waspadai Politisasi!

"SEKOLAH gratis terkait wajib belajar 9 tahun sejak awal 2009, sesuai dengan PP 48/2008 yang melarang segala bentuk pungutan pada murid/walinya kecuali di sekolah berprogram internasional, perlu diwaspadai rawan terhadap politisasi!" ujar Umar. "Politisasinya antara lain rekayasa kekisruhan proses belajar-mengajar dengan tujuan menggulingkan kepala sekolah!"

"Gejala seperti itu sempat muncul di sementara SMP Kota Bandar Lampung!" sambut Umar. "Namun karena wali kota dan wakilnya satu kata dalam mengatasinya, yakni dengan tidak meladeni segala bentuk rekayasa dan memastikan masa dinas kepala sekolah sesuai dengan aturan yang berlaku, segala usaha rekayasa di sekolah akhirnya padam!"


"Memang kata kuncinya pada sikap tegas kepala daerah, wakilnya serta sekkot dan sekkab untuk tidak menoleransi segala bentuk politisasi di sekolah, lebih-lebih rekayasa kekisruhan proses belajar-mengajar!" tegas Umar. "Namun tetap perlu disimak faktor-faktor penyebab kerawanan itu!"

"Faktor utamanya jelas karena jadi terbatasnya duit ekstra di sekolah akibat larangan pungutan itu!" timpal Amir. "Misalnya, sewaktu bebas memungut dari murid/walinya, kepala sekolah punya kas kecil 'dana taktis' sehingga setiap ada pengawas datang--paling tidak sebulan dua kali--atau berurusan ke UPTD (dulu kacabdin) dan pihak-pihak lain di atas selalu 'lancar', setelah PP-48, semua itu jadi tamat! Ini bisa menyulut gagasan rekayasa 'politis', lewat pihak yang punya ambisi jadi kepala sekolah hingga mudah dikompori untuk menyusun gerakan antikepala sekolah!"

"Dengan begitu, dana taktis kepala sekolah yang sudah tamat itu mendapat substitusi 'dana perang' mengalir ke atas baik dari yang berusaha merebut maupun yang mempertahankan jabatan kepala sekolah!" tukas Umar. "Nilainya juga jelas lebih besar dari sekadar dana taktis sisihan hasil pungutan dari murid! Kerawanannya pun malah bersifat sistematis!"

"Apalagi menggalang rekayasanya relatif mudah!" timpal Amir. "Misalnya, seorang guru senior yang berprestasi dan bersertifikat, tiba-tiba jadi sering meninggalkan kelas untuk menonton televisi di ruang guru! Setelah kepala sekolah menemukan berkali-kali hal itu dan menegur sang guru senior, memang itulah yang ditunggu! Sang guru segera mempersoalkan teguran itu dengan menyulut emosi teman-teman guru dengan melabeli sang kepala sekolah arogan! Para guru lain simpati pada guru senior dan siap meneken di atas kertas kosong resolusi yang akan dibuat sang senior!"

"Saat kekisruhan di sekolah memuncak itulah, para birokrat di atas merayakan sukses rekayasa mereka! Dan tentu, mendukung resolusi!" tegas Umar. "Jadi tampak, hanya ketegasan kepala daerah yang bisa memadamkan gelora rekayasa tersebut! Kalau satu saja lolos, akan segera ditiru sekolah-sekolah lain! Lantas pendidikan di daerahnya jadi acak kadut oleh konflik yang tiada henti! Maka itu, waspadailah politisasi pendidikan di sekolah karena gejalanya mulai terbayang di skala kabupaten!" **

0 komentar: