Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Masalah 'Dapur Enggak Ngebul'!

CUCU datang liburan usai UN, nenek langsung menyeretnya ke dapur, "Katakan yang jujur!" entak nenek. "Belakangan ini ibumu sering SMS ke nenek, sudah dua hari tidak masak! Apa yang kalian makan waktu ibumu tidak masak begitu? Nenek jadi tak bisa tidur memikirkan kalian!"

"Nenek lucu!" jawab cucu. "Kalau mama SMS tidak masak, itu menyampaikan kabar gembira!"

"Sok tahu!" entak nenek. "Kalau tak masak berarti dapur enggak ngebul, itu masalah serius dalam ekonomi rumah tangga!"

"Tapi sebenarnya bukan seperti yang nenek pikirkan!" jelas cucu. "Kalau mama SMS tidak masak, itu pamer! Sebab, itu berarti papa sudah pesan tempat di restoran untuk satu keluarga! Jadi, setiap dapur enggak ngebul, pertanda baik!"

"Begitu?" timpal nenek menarik napas lega, "Jadi, beda masalah dapur enggak ngebul antara orang desa dan kota! Pantas, kalau elite politik dari kota datang ke desa dilapori banyak warga sudah berhari-hari dapurnya enggak ngebul, elite kota itu justru terangguk-angguk gembira sambil berkata, 'Bagus! Bagus!' Mungkin dia kira seperti di kota, kalau dapur enggak ngebul makan di restoran! Padahal, maksud warga memberi tahu, ancaman bahaya kelaparan sudah melanda desa!"

"Lalu, apa tindakan elite kota itu?" kejar cucu.

"Memberi bantuan langsung tunai, mungkin agar lebih mudah makan di restoran terus!" jelas nenek. "Dan memang, bantuan tunai itu bisa ludes dua hari untuk melampiaskan kelaparan akibat berhari-hari dapurnya enggak ngebul!"

"Rupanya itu salah satu penyebab kenapa selama era SBY-JK dana untuk mengurangi kemiskinan naik hampir empat kali lipat, tetapi seperti ditulis Faisal Basri (Kompas, 27-4), angka kemiskinan hanya turun satu persen saja!" tukas cucu. "Dia bandingkan dengan Laos, berhasil mengurangi kemiskinan absolut dari 22,8 persen pada 2004 menjadi 12,2 persen pada 2008! Juga Kamboja, pada priode sama penduduk miskin dari 19 persen jadi 8,7 persen, Vietnam dari 7,8 persen jadi 3 persen, dan China 10,3 persen jadi 6,1 persen!"

"Maksudmu mengatasi kemiskinan warga desa dengan cara berpikir orang kota?" kejar nenek.

"Bukan cuma itu! Tapi pada dasarnya, elite kota itu tidak memahami hakikat kemiskinan, hingga mereka kira asal diberi uang cepek ceng sebulan akan terbebas dari kemiskinan!" tegas cucu. "Akibatnya seperti memberi obat tanpa diagnosis, asal diberi obat paten yang mahal dikira segala penyakit sembuh! Maka itu, dana habis empat kali lipat, pasien yang sembuh cuma satu persen!"

"Sedang di Laos, Kamboja, Vietnam, dan China, meski diberi obat generik yang murah, dengan diagnosis dokter sehingga obatnya tepat dengan penyakit setiap pasien!" potong nenek. "Apalagi kalau kemiskinan itu sudah seperti penyakit parah, diberi obat cuma untuk sekali makan, dapurnya enggak bertahan ngebul!" ***

0 komentar: