"SMS dari siapa, dipelototi terus?" tanya Umar.
"Dari caleg!" jawab Amir. "Isinya memprediksi keriuhan yang bisa terjadi usai pemilu legislatif dipicu ketentuan ambang batas parliamentary threshold 2,5 persen suara sah nasional untuk pemilu anggota DPR! Jika tidak mencapai 2,5 persen suara sah nasional, sebuah parpol tidak berhak mendapat kursi DPR, berapa banyak pun suara yang diperoleh di daerah pemilihan--dapil!"
"Kalau dari berbagai dapil parpol dapat 10 kursi DPR, karena jumlah itu belum cukup 2,5 persen dari suara sah nasional, yang 10 kursi itu gugur?" kejar Umar.
"Menurut ketentuannya, begitu!" jawab Amir. "Kalau ada 10 parpol yang mengalami hal itu, bisa terjadi seratusan anggota legislatif hasil pilihan rakyat langsung yang dieliminasi! Itu sebabnya kupelototi SMS ini, karena pemilih dari 100 orang anggota legislatif yang terpilih langsung tapi dieliminasi itu, jika rata-rata setiap anggota dipilih oleh 300 ribu orang, jumlah pemilih yang suaranya sia-sia itu 30 jutaan orang! Betapa riuh jika 30 juta orang itu teriak bersama!"
"Setengah juta saja mahasiswa teriak bersama di Senayan bisa menjatuhkan rezim Orde Baru yang telah bercokol 32 tahun!" timpal Umar. "Betapa jauh lebih dahsyat teriakan 30 juta orang itu jika terjadi usai pemilu! Lalu, dikemankan suara rakyat yang pilihan aslinya dieliminasi itu?"
"Sesuai ketentuan semua suara dibagi habis di tingkat provinsi, tentu suara itu disatukan dengan sisa suara dapil-dapil lalu dimatrikkan kembali sesuai urutan perolehan suara caleg yang ada!" jawab Amir. "Justru di situlah diperoleh alasan protes buat pemilih, karena bukan caleg yang benar-benar terpilih langsung oleh rakyat yang duduk di DPR! Pemilu dengan pemilihan langsung oleh rakyat pun jadi kehilangan makna, karena yang duduk malah bukan hasil pilihan rakyat!"
"Padahal sejak awal pilihan rakyat itu dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perubahan di DPR, tapi karena akhirnya yang menikmati suara buangan itu dari kalangan partai besar lama yang membuat aturan itu untuk keuntungan partainya, harapan terjadinya perubahan di DPR gagal!" tukas Umar. "DPR pun kembali bermain dengan gaya lama yang mengecewakan rakyat!"
"Dalam sistem politik negeri kita, rakyat kecewa dari satu pemilu ke pemilu berikutnya itu sudah menjadi tradisi!" sambut Amir. "Karena bukan untuk mengatasi kekecewaan rakyat resep utama dalam setiap menyusun aturan pemilu, melainkan peningkatan kenikmatan dari setiap porsi kekuasaan yang diperoleh partai besar! Karena itu, dari pemilu ke pemilu hasilnya bukan peningkatan kesejahteraan rakyat, melainkan semakin luasnya konsesi kekuasan diiringi tambah besar dan berlimpahnya fasilitas kekuasaan!"
"Kecenderungan begitu bisa membuat teriakan 30 jutaan orang yang hasil pilihannya dieliminasi itu bisa lebih keras!" timpal Umar. "Kalau hal itu terjadi, gempita keriuhan usai pemilu bisa lebih jauh dari yang diperkirakan!" ***
0 komentar:
Posting Komentar