Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kampanye Terbuka Suara Terbanyak!

"BESOK parpol dan para calegnya mulai kampanye terbuka! Keluarga kami bingung, bukan cara nyontrengnya, tapi dalam membagi suara!" ujar Umar. "Soalnya, keluarga di rumah empat orang, famili dekat yang nyaleg enam orang, beda-beda parpol pula! Kalau diberikan setiap satu suara pada yang empat, tak adil buat yang dua lagi!"

"Supaya fair, kalian hadiri kampanye setiap famili itu! Lalu dinilai sendiri, pada siapa suara masing-masing layak diberikan!" saran Amir. "Hal serupa dialami konstituen parpol di pemilu sistem suara terbanyak ini! Dalam kampanye terbuka partai, sebutlah untuk DPRD kabupaten, pada dapil kecamatan tentu calon parpol dari kecamatan tersebut tampil bareng dan menyatakan dirinya paling baik mewakili parpolnya dari kecamatan itu! Pasti konstituen memilih yang menurut mereka paling layak di antara caleg yang semua menyatakan dirinya terbaik itu!"


"Tapi setiap konstituen punya subjektivitas untuk menilai mana yang terbaik menurut dirinya! Ada yang terpikat cantiknya, ada pula jatuh hati pada kumisnya, dan seterusnya!" timpal Umar. "Karena itu suara konstituen jadi tersebar di semua calon, dengan akibat, meski partainya mendapat suara terbanyak, bisa saja tak satu caleg pun memenuhi syarat minimal perolehan suara!"

"Hal itu bisa terjadi pada semua parpol!" tegas Amir. "Artinya, meski masih ada mekanisme lanjutan untuk menentukan yang terpilih dengan suara terbanyak, nantinya praktis mayoritas anggota legislatif akan duduk dengan dukungan minimal--di bawah syarat jumlah suara! Itu bisa seperti genset dengan kapasitas terpasang kecil, tapi dipasang untuk beban yang besar!"

"Untuk itu jangan salahkan mesin jika nyala listrik politik nantinya byarpet, atau malah kena giliran pemadaman!" potong Umar. "Saat itu terjadi, seperti pemadaman listrik, kelompok kuat yang punya akses atau pengaruh ke pengelola mesin akan selalu lebih diuntungkan, sedang rakyat lemah di pinggiran akan selalu dikorbankan dengan lebih sering kena giliran pemadaman!"

"Dengan demikian, betapa idealnya pun pemilu dengan sistem suara terbanyak ini, tetap saja tidak dengan serta-merta mengubah fitrah politik kaum pinggiran--sekalipun kebutuhan watt-nya kecil, tetap saja selalu tak kebagian!" tukas Amir. "Sebaliknya mereka di center of power--dalam lingkaran pusat kekuasan--dengan watt amat besar pun, selalu dapat berlebihan!"

"Padahal pemerintah selalu dilukiskan seperti listrik, dan pusat kekuasaan seperti power plant--pusat pembangkit listrik! Ketika pembangkit dinyalakan, seluruh jaringan ikut menyala!" timpal Umar. "Kenapa padanan dengan listrik itu terhadap kekuasaan selalu meleset?"

"Salah nenek kita juga!" tukas Umar. "Hasil buah kebunnya yang bagus-bagus selalu dijual untuk dikonsumsi orang kota! Sedangkan buah-buah bongkeng, pisang penyet dan mentimun bungkuk, disisakan untuk dimakan sendiri! Akibatnya, elite kota yang berkuasa pun selalu memberikan pada warga pinggiran yang bongkeng, sedang yang bagus-bagus untuk mereka! Simpulnya, hal itu tidak serta-merta bisa dibalikkan hanya dengan pemilu sistem suara terbanyak!" ***

0 komentar: