"PAN--Partai Amanat Nasional--memelopori model demokrasi internal yang membuat partai menjadi lebih kenyal, tak lagi rentan perpecahan!" ujar Umar. "Model itu, menghargai hak asasi kadernya untuk bebas memilih seandai meyakini ijtihad lain, meski partainya secara formal telah berkoalisi mendukung calon presiden dari partai lain!"
"Itu model bijaksana menghindari pemaksaan kehendak demi kepentingan segelintir elite partai!" sambut Amir. "Masak untuk mendukung tokoh partai lain menjadi presiden dipaksakan sampai partai sendiri pecah, hancur berantakan? Padahal, setelah menang dan dapat bagian kekuasaan, segelintir elite partainya jadi menteri, tak menjamin akan membesarkan partai! Dari contoh kasus justru sebaliknya, partai pendukung penguasa dalam koalisi justru kian mengecil karena klaim-klaim sukses hanya dibuat penguasa untuk partai utama pendukungnya--tanpa sedikit pun menyinggung partai pelengkap koalisi sebagai bagian kunci suksesnya!"
"Itu model bijaksana menghindari pemaksaan kehendak demi kepentingan segelintir elite partai!" sambut Amir. "Masak untuk mendukung tokoh partai lain menjadi presiden dipaksakan sampai partai sendiri pecah, hancur berantakan? Padahal, setelah menang dan dapat bagian kekuasaan, segelintir elite partainya jadi menteri, tak menjamin akan membesarkan partai! Dari contoh kasus justru sebaliknya, partai pendukung penguasa dalam koalisi justru kian mengecil karena klaim-klaim sukses hanya dibuat penguasa untuk partai utama pendukungnya--tanpa sedikit pun menyinggung partai pelengkap koalisi sebagai bagian kunci suksesnya!"
"Model itu dicetuskan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PAN Amien Rais pada pembukaan Rakornas PAN di Jakarta!" tegas Umar. "Tak ada satu partai pun yang bisa memaksakan keputusan monolitik, tegas Amien. Oleh sebab itu, kalau ada kader PAN yang meyakini ijtihad lain, bukan berarti pengkhianat!" (Kompas 27-5)"Bagaimana dengan perbedaan pendapat dalam partai?" kejar Amir.
"Kata Amien, perbedaan pendapat di PAN merupakan salah satu bentuk kedewasaan partai!" jelas Umar. "Bahkan, ia menegaskan kalau ada yang berbeda tidak perlu dipecat! Kita manusia belum tahu siapa yang akan jadi presiden nanti. Saya justru takut kalau 100 persen ke satu arah, hak asasi kader untuk berbeda tak dihargai!"
"Hal terpenting dari situ adalah logika, bagaimana suatu demokrasi berskala besar bisa dibentuk oleh paduan unsur berupa partai-partai yang dalam diri sendiri otoriter--hanya menonjolkan pemaksaan kehendak segelintir elitenya belaka?" tukas Amir. "Tentunya, hanya unsur-unsur yang demokratislah jika dipadu akan menghasilkan demokrasi berskala lebih besar! Berarti, demokrasi yang selama ini kita agungkan sebenarnya baru pseudomatika--seolah-olah saja demokrasi! Sedang realitas isinya, justru masih sebaliknya--demokrasi kita belum berorientasi kepentingan rakyat, tapi lebih berorientasi pada kepentingan elitenya belaka!"
"Keberuntungan terselubung juga ternyata yang membimbing bangsa ini untuk mencapai model demokrasi internal partai!" timpal Umar. "Betapa, model itu diterima karena putusan Rapimnas PAN untuk berkoalisi dengan bargain posisi cawapres tidak mencapai target! Maka, jalan keluar tetap menjaga keutuhan partailah pilihan terbaik!" ***
0 komentar:
Posting Komentar