"NGETAN bali ngulon kadung dolan lali angon!" gumam Temin dalam nyanyian masa lalunya, artinya, timur kembali ke barat telanjur jalan-jalan lupa menggembala (tugas).
"Aku tahu kau nyindir siapa!" potong Temon.
"Tebak, siapa yang kusindir!" timpal Temin.
"Dua orang yang sejak pertemuan terakhirnya di musrenbangnas lali angon karena keduanya berlomba jalan-jalan sosialisasi prakampanye sehingga koordinasi kabinet melemah, seperti dituding koran!" jawab Temon. "Setelah tudingan itu barulah mereka berubah, untuk tidak menyia-nyiakan sisa waktu berkuasa, lalu unjuk akrab di antara mereka dengan menyembunyikan persaingan sengit di balik panggung kekuasaan!"
"Sebuah sandiwara panggung kekuasaan yang menuntut kemampuan akting tingkat tinggi untuk memperlihatkan ekspresi kebersamaan mereka benar-benar tulus!" tegas Temin. "Padahal tak sukar ditebak, beberapa hari lagi di panggung kampanye keduanya bakal mengulang lakon yang baru ditutupi dengan akting kemesraan sok tulus itu--kembali berbalas menyindir dan mengkritik!"
"Tapi karena budaya rakyat Indonesia amat akrab dengan seni panggung sehingga banyak yang tak bisa membedakan antara kesenian di panggung dan kehidupan nyata--menurut Umar Kayam ada warga sebuah desa yang mengidentifikasi diri sekaligus berperilaku
sehari-hari sebagai Werkudoro, Arjuno, Putodewo, Petruk, Gareng, dan lainnya--maka rakyat sukar membedakan antara akting dan kesungguhan!" sambut Temon. "Mungkin karena kekuasaan datang dari rakyat, hal serupa juga bisa terjadi di panggung kekuasaan!""Aku tahu kau nyindir siapa!" potong Temon.
"Tebak, siapa yang kusindir!" timpal Temin.
"Dua orang yang sejak pertemuan terakhirnya di musrenbangnas lali angon karena keduanya berlomba jalan-jalan sosialisasi prakampanye sehingga koordinasi kabinet melemah, seperti dituding koran!" jawab Temon. "Setelah tudingan itu barulah mereka berubah, untuk tidak menyia-nyiakan sisa waktu berkuasa, lalu unjuk akrab di antara mereka dengan menyembunyikan persaingan sengit di balik panggung kekuasaan!"
"Sebuah sandiwara panggung kekuasaan yang menuntut kemampuan akting tingkat tinggi untuk memperlihatkan ekspresi kebersamaan mereka benar-benar tulus!" tegas Temin. "Padahal tak sukar ditebak, beberapa hari lagi di panggung kampanye keduanya bakal mengulang lakon yang baru ditutupi dengan akting kemesraan sok tulus itu--kembali berbalas menyindir dan mengkritik!"
"Tapi karena budaya rakyat Indonesia amat akrab dengan seni panggung sehingga banyak yang tak bisa membedakan antara kesenian di panggung dan kehidupan nyata--menurut Umar Kayam ada warga sebuah desa yang mengidentifikasi diri sekaligus berperilaku
"Tanpa kecuali kecenderungan seperti itu ada konsekuensinya!" tegas Temin. "Peran-peran dalam kekuasaan dimainkan lebih hanya untuk memenuhi tuntutan casting ekspresi di panggung atau lazim disebut politik pencitraan! Sedang pada tataran kehidupan nyata, gelegar entakan janji perubahan yang pernah didengungkan tak jelas juntrungannya!"
"Perubahan memang terjadi, jalan-jalan yang dulu agak rusak, irigasi yang dulu agak rusak, gedung-gedung sekolah yang dulu agak rusak, kini jadi rusak parah!" tukas Temon. "Tapi karena pandangan rakyat selalu lebih tertumpu ke panggung, dan panggung dianggap sebagai realitas hidup itu sendiri, kepiawaian berekspresi di panggung sandiwara kekuasaan pun jadi lauh lebih menentukan!"
"Dengan kecenderungan sukarnya membedakan antara permainan di panggung dan realitas hidup sesungguhnya itu, siapa paling canggih aktingnya akan lebih besar kansnya menjadi idola, mendapat tempat di hati rakyat!" timpal Temin. "Apakah kecenderungan ini kita lanjutkan?"
"Lanjutkan!" seru Temon dengan suara lantang.
0 komentar:
Posting Komentar