BANK Indonesia (BI) mencatat ekonomi pada kuartal I 2018 bergerak dengan kecepatan lebih baik dari kuartal I 2017 dengan investasi dan konsumsi yang meningkat, meski diwarnai pertumbuhan impor yang lebih besar dari pertumbuhan ekspor. Hal itu berdampak pada meningkatnya defisit transaksi berjalan (current account deficit). Meski demikian, defisit tersebut masih dalam tataran rendah dan di bawah batas 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). "Current account deficit yang meskipun meningkat, dalam batas yang sehat," ujar Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo. (Kompas.com, 19/4/2018) Bank Sentral sendiri, tambah Dody, memproyeksikan defisit transaksi berjalan akan berada pada 2%—2,5% terhadap PDB pada tahun 2018 ini. Defisit tersebut masih pada batas yang aman. Membengkaknya pertumbuhan impor melampaui ekspor, terjadi antara lain akibat pesatnya peningkatan industri perakitan untuk pasar domestik (terutama otomotif dan elektronik) sehingga komponen completely knocked down (CKD) yang dibutuhkan juga meningkat. Kemudian impor barang-barang bawaan investasi yang nilainya relatif besar. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan yang laten itu juga mencerminkan program pengadaan dan penggunaan komponen lokal dalam industri perakitan berjalan lamban. Juga lemahnya usaha peningkatan nilai tambah ekspor dengan produk-produk turunan dari komoditas unggulan, seperti sawit, kopi, cokelat, dan karet. Sedangkan ekspor bijih besi, tembaga dan mineral hasil tambang mentah lainnya yang sejak Januari 2014 dihentikan, karena harus dilebur dahulu agar menaikkan nilai tambahnya, hingga sekarang pabrik peleburannya (smelter) belum jadi. Bahkan, milik perusahaan raksasa sebesar Freeport sekalipun. Sedang Newmont, alih-alih membangun smelter, justru melikuidasi perusahaannya di NTB. Semua itu menyebabkan, ketika laju impor pesat, ekspor kewalahan mengimbanginya sehingga menimbulkan defisit transaksi berjalan. Namun, ditinjau dari gerak perekonomian, laju peningkatan impor tersebut amat positif, apalagi kalau mengikuti peningkatan investasi dan konsumsi seperti dikemukakan Dody. Impor, dalam hal ini harus dilihat sebagai input yang menggerakkan industri dalam negeri dan perekonomian nasional. Dengan demikian, makin besar impornya, akan makin besar pula skala ekonominya. Ketergantungan pada input impor itu model industri terpasang. Untuk melengkapinya, harus dibangun model industri berinput material lokal.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar