PRESIDEN Donald Trump Jumat (15/6/2018) resmi memberlakukan tarif 25% atas 818 produk impor asal Tiongkok. Pada hari yang sama, Beijing langsung menggebrak pasar minyak dunia dengan ancaman memungut tarif impor minyak mentah, gas alam, dan produk energi lainnya dari AS seiring naiknya Tiongkok ke daftar teratas importir minyak AS. Kalau pihak AS menyatakan daftar yang berlaku mulai 6 Juli 2018 itu baru tahap pertama dengan nilai 34 miliar dolar AS, tarif impor energi yang diancamkan Tiongkok justru daftar susulan, setelah sebelumnya menyebut pemberlakuan tarif atas komoditas pertanian dan mobil asal AS. Menurut data Departemen Energi AS, saat ini Tiongkok mengimpor sekitar 363.000 barel minyak mentah AS setiap hari, setara Kanada sebagai importir minyak mentah terbesar AS. Belum lagi tambahan 200.000 barel per hari (bph) dari produk lainnya seperti propana. Dengan ladang minyak serpih (shale), AS kini memproduksi 10,9 juta bph, 2 juta bph diekspor. Sebelum ini AS mendesak Tiongkok untuk membeli lebih banyak energi AS sekaligus membatasi pembelian minyak mentah dari Iran. Sampai saat ini Tiongkok merupakan pembeli terbesar minyak Iran dengan jumlah 650.000 bph. Pemberlakuan tarif itu akan mencegah penyuling di Tiongkok membeli atau impor minyak mentah AS. (Kompas.com, 16/6) Sebab, harga jualnya menjadi t idak sebanding lagi dengan harga di Tiongkok. Destruksi akibat perang dagang terbuka AS-RRT itu segera merebak secara global. Tahap pertama, akibat terhambatnya ekspor ratusan produk Tiongkok ke AS, produksi industrinya akan sedikit melambat. Pasokan bahan bakunya juga berkurang, mengimbas pemasoknya, antara lain Indonesia. Tahap kedua, mencari lokasi kompensasi bagi pengalihan ekspornya untuk produk-produk yang terkendala masuk AS. Produk-produk tersebut akan membanjiri pasar-pasar potensial dengan dumping terselubung, misalnya lewat diskon yang besar kepada agennya di pasar potensial, selanjutnya para agen membuat diskon gila-gilaan sehingga mengencundangi industri domestik. Tapi imbas terhadap industri domestik bisa menjadi blessing in disguise—keberuntungan terselubung—dalam mengurangi laju defisit neraca berjalan akibat impor (bahan baku dan penolong industri untuk pasar domestik) yang tumbuh 21% year to date, sedang ekspornya hanya tumbuh 8% sampai 9%, seperti kata Darmin Nasution. (Kompas.com, 16/6) Jadi, masih diperlukan banyak upaya untuk menghindari destruksi perang dagang AS-RRT.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar