GEJALA penyulut konflik dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Lampung amat kecil, untuk tidak menyebut sama sekali tidak ada. Potensinya mungkin dalam bentuk rekayasa yang pada saat ini belum muncul. Selama masa kampanye sama sekali tidak ada benturan antarpendukung, jadi tidak ada yang berlanjut pada era pencoblosan. Kalaupun selama masa kampanye ada riak-riak kecil menjurus ke pembenihan konflik, sifatnya hanya tudingan sepihak yang hambar sendiri kemudian akibat tidak menemukan benturan. Jadi heboh sendiri saja, sedang kalau ada yang melanggar hukum, segera ditangani kepolisian sehingga tidak meluas. Kondisi yang relatif kondusif itu bisa terjadi karena perpolitikan partai di daerah ternyata tidak sepenuhnya selaras mengikuti garis induk partainya di pusat. Contohnya Partai NasDem yang di pusat pendukung pemerintah sedang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berada di kubu oposisi bersama Gerindra, di Lampung NasDem dan PKS berangkulan mengusung pasangan calon gubernur/wakil gubernur Mustafa/Ahmad Jajuli. Demikian pula Partai Amanat Nasional (PAN) yang semula masuk kelompok pendukung pemerintah tapi kemudian condong ke kubu PKS-Gerindra, di Lampung berangkulan dengan Golkar dan PKB mengusung pasangan Arinal-Nunik. Kolaborasi kepentingan daerah yang terlepas dari kekakuan garis politik partai di pusat itu membuat pola keseimbangan dan harmoni tersendiri kehidupan perpolitikan di daerah. Isu-isu yang di pusat menjadi ajang tarung kepentingan antarkelompok politik, di daerah menjadi bahan cengkerama mempererat silaturahmi. Itu kondisi pertemuan antarpartai dalam satu tujuan perjuangan memenangkan calon yang sama. Sedang antarkelompok partai yang bertarung memperebutkan kursi gubernur, masing-masing yakin menang dengan penguatan barisannya. Jadi lebih repot dengan merapikan barisan perjuangannya sendiri dari waktu ke waktu supaya bisa menang, sehingga tidak sibuk mengusik atau mengganggu barisan lawan. Tepatnya, pilkada di Lampung mirip kontes baris-berbaris, semua peserta lebih sibuk merapikan barisannya supaya menang. Atau juga seperti main voli, oleh KPUD mereka dibuat berada di antara jaring (net) pemisah lewat pengaturan jadwal dan lokasi kampanye yang berbeda. Jadi bukan seperti di arena tinju yang bisa bebas adu pukul. Jalan damai itu juga tercipta karena kalau ada hal-hal yang kurang beres selama proses pilkada, mereka masih bisa mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar