KIAN dekat hari "H" Pemilu 2019, arus hoaks justru tambah masif. Menkominfo Rudiantara mencatat pada Agustus 2018 ditemukan 25 kabar bohong tersebar di medsos. Pada akhir 2018, Kominfo memastikan ada 75 hoaks, naik tiga kali lipat. Sepanjang 2019 meningkat pesat, akhir Maret jadi 453 hoaks atau 18 kali lipat dari Agustus 2018. Menurut Rudiantara, hoaks telah merusak suasana pesta demokrasi pada Pemilu kali ini. Semua pihak harus ikut bertanggung jawab untuk menanggulanginya. "Kita memasuki yang namanya pesta politik. Pernah tidak kalau ke pesta orangnya mengajak berantem? Tidak ada. Kalau menganggap ini pesta politik, maka berlakulah seperti menyongsong pesta, bergembira, silaturahmi, dan sebagainya. Bahwa pilihan, sebagai menteri, saya berharap janganlah menyebar hoaks," kata Rudiantara dikutip Kompas.com (8/4/2019). Hoaks yang meruyak membahayakan bangsa karena berisi kabar bohong, fitnah, ujaran kebencian, memecah belah, dan mengadu domba antargolongan masyarakat. Pekan terakhir dua orang ditangkap polisi disangka menyebar hoaks menghasut untuk pengulangan kerusuhan 1998. Dua orang lagi, salah satunya ditangkap di Lampung, disangka menyebar fitnah bahwa server KPU sudah di-setting bagi kemenangan Jokowi-Amin. Penyebaran hoaks harus dihentikan dan ditindak tegas oleh pihak yang berwajib, karena dengan fitnah dan kebencian yang disebarkan bisa menyulut kerusuhan. Peningkatan hingga 18 kali lipat itu, bukan akibat lemahnya penindakan, tapi lebih didorong oleh kuatnya arus narasi negatif yang disemburkan ke tengah masyarakat. Narasi negatif bisa menyulut emosi dan mendorong orang menuliskan khayalannya ke status media sosial dengan proses yang amat mudah. Setelah statusnya terkirim baru sadar, sehingga seperti dalam suatu kasus, dia membuang ponsel-nya. Ada pula yang ketakutan dan melarikan diri, seperti tersangka penyebar hoaks tujuh peti kemas berisi surat suara yang telah dicoblos. Hoaks tidak cukup dilawan hanya dengan sekadar fakta, karena hoaks yang terangkai narasi tertentu, ilusinya secara emosional membentuk kesan pada orang yang terpengaruh narasi. Akibatnya, fakta sekadarnya yang ditampilkan malah bisa dituding sebagai pembelaan diri. Melainkan, rangkaian fakta dan kebenaran yang terelaborasi dalam sebuah kontra narasi mementahkan ilusi-ilusi kosong produk hoaks. Kontra narasi yang tangguh menumpas semua ilusi, diperkuat penindakan tegas pelaku hoaks, bisa mengurangi ekses hoaks di masyarakat. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar