"PUSO yang secara umum berarti gagal panen, penyebabnya bisa banjir, kekeringan, atau bencana lain, dalam bahasa kaum birokrat ternyata memiliki aneka persepsi!" ujar Umar. "Salah satunya dari Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Pringsewu Tabrani Mahfi. Menurut dia, tanaman padi yang mati akibat kekeringan belum tentu bisa dikatakan puso! Seperti yang kekeringan pada usia 2 minggu, tanpa kecuali secara nyata bisa dipastikan tanaman padi itu gagal panen! Kelompok ini dinilai salah petani yang tetap menanam di musim kemarau!"
"Berarti untuk kelompok itu gagal panennya tak tergolong puso sehingga tidak berhak atas bantuan pemerintah terhadap puso, yakni pengganti benih padinya!" timpal Amir. "Lalu, persepsi lainnya seperti apa?"
"Persepsi lainnya dari Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Lampung Ediyanto, yang optimistis kekeringan sawah tidak mengganggu sasaran produksi padi!" tegas Umar. "Dalam versi ini, puso hanya dilihat sebagai angka-angka turunnya produksi yang diakibatkan sehingga tampak kecil sekali artinya bagi target panen tahunan! Dengan gambaran kecilnya akibat puso itu ia laporkan ke atas, masalah puso pun tak membuat atasan gelisah-resah! Para pejabat atasan pun tetap bisa nyenyak tidur dan nikmat makan di tengah bencana gagal panen yang menyengsarakan-banyak petani!"
"Jadi persepsi birokrat terhadap puso berbeda dengan realitas penderitaan petani akibat gagal panen, baik yang digolongkan puso hingga dapat ganti benih maupun tidak!" tukas Amir.
"Persepsi birokrat—untuk menenangkan dan menyenangkan atasan itu—cenderung untuk mengecilkan arti gagal panen dengan kriteria puso yang rigid sebagai usaha pengecilan jumlah kasusnya, hingga jika di delapan desa Kecamatan Ambarawa saja HKTI mencatat ancaman gagal panen 1.835 hektare (ha), pada kantor birokrat untuk se-Kabupaten Pringsewu hanya tercatat 187 ha! Bayangkan betapa kontras jika pengecilan arti itu diproyeksikan skalanya ke tingkat provinsi!" "Pengecilan arti lewat angka-angka itu terkait erat dengan pengecilan arti kemanusiaan di balik penderitaan petani yang gagal panen!" tegas Umar. "Bayangkan, gagal panen yang bukan hanya memupus harapan, melainkan juga melenyapkan kebutuhan hidupnya setengah tahun sampai setahun ke depan, cukup diganti hanya dengan sekian kilogram benih! Itu pun, penerimanya masih harus diseleksi dengan kriteria birokrat, gagal panen mana yang bisa digolongkan puso! Bagi yang tak memenuhi kriteria birokrat terpaksa meraih 'duo gagal'—gagal panen dan gagal puso!" ***
"Persepsi birokrat—untuk menenangkan dan menyenangkan atasan itu—cenderung untuk mengecilkan arti gagal panen dengan kriteria puso yang rigid sebagai usaha pengecilan jumlah kasusnya, hingga jika di delapan desa Kecamatan Ambarawa saja HKTI mencatat ancaman gagal panen 1.835 hektare (ha), pada kantor birokrat untuk se-Kabupaten Pringsewu hanya tercatat 187 ha! Bayangkan betapa kontras jika pengecilan arti itu diproyeksikan skalanya ke tingkat provinsi!" "Pengecilan arti lewat angka-angka itu terkait erat dengan pengecilan arti kemanusiaan di balik penderitaan petani yang gagal panen!" tegas Umar. "Bayangkan, gagal panen yang bukan hanya memupus harapan, melainkan juga melenyapkan kebutuhan hidupnya setengah tahun sampai setahun ke depan, cukup diganti hanya dengan sekian kilogram benih! Itu pun, penerimanya masih harus diseleksi dengan kriteria birokrat, gagal panen mana yang bisa digolongkan puso! Bagi yang tak memenuhi kriteria birokrat terpaksa meraih 'duo gagal'—gagal panen dan gagal puso!" ***
0 komentar:
Posting Komentar