PEMILU damai dengan kampanye tanpa hoaks dan ujaran kebencian yang menyinggung suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), telah dideklarasikan di seluruh negeri Minggu (23/9). Selama ini orang lancung menyebar hoaks dan SARA lewat media sosial (medsos). Bisa dipahami jika inti dari deklarasi itu praktiknya menjinakkan medsos. Kapolri Tito Karnavian sebelum deklarasi itu telah mengultimatum akan menindak tegas siapa pun yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian berbau SARA. Contoh tindakan tegas itu ditunjukkan dengan para penyebar hoaks demo mahasiswa di MK yang rusuh. Sejumlah orang dari berbagai daerah sebagai pelakunya diringkus dalam waktu singkat. Semua tersangka terancam hukuman berat sesuai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tugas kepolisian mengawasi lalu lintas informasi di medsos tentu dapat diandalkan untuk membersihkan konten medsos dari hoaks dan SARA. Namun itu cenderung hanya terjadi ketika pelakunya awam dalam teknik medsos, baik terkait teknik perinternetan maupun permainan bahasa. Masalah yang justru dewasa ini membuat medsos tidak sehat, adalah apa yang lazim disebut buzzer. Mereka umumnya sangat ahli secara teknik mengerjai gambar, memelintir, dan memutar balik narasinya. Bagian ini yang juga perlu dibersihkan dalam usaha membuat internet jadi sehat. Dengan hasil kerja buzzer yang masih terselip di medsos, para pengguna medsos jadi terasa kurang nyaman. Padahal, kenyamanan pengguna di medsos menjadi prasyarat untuk bertahan menggunakan medsos. Kalau banyak pelintiran buzzer yang lolos, pengguna jadi muak dan segera pindah laman. Bersihnya medsos dari buah karya buzzer, memberi peluang besar bagi medsos sebagai peranti proses kultural edukatif. Selama ini banyak materi yang cukup berbobot bagi proses kultural edukatif di medsos, tetapi jadi kurang menarik karena ditimpa atau dikacaukan oleh karya buzzer yang tendensius. Bahkan, kultural edukatif di bidang politik itu sendiri, masih amat dibutuhkan bagi warga untuk berpolitik secara elegan ke masa depan. Jadi, era hoaks dan SARA yang telah dilalui menjadi pengalaman berharga bagi demokrasi bangsa kita, dengan catatan untuk tidak sekali lagi pun diulang. Pelajaran penting dalam kultural edukatif di bidang politik adalah menghormati hak-hak orang lain. Menghormati hak-hak orang lain itu inti dari etika politik. Esensinya di simpang lampu merah: orang tidak menerabas ketika orang lain mendapatkan haknya (lampu hijau).
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar