MATA uang negara-negara emerging market terpukul perang dagang global, kenaikan suku bunga, dan apresiasi dolar AS. Venezuela, Turki, Argentina, Iran, dan Rusia nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu telah terpangkas lebih 40% (ytd). India dan Afrika Selatan periode sama terpangkas lebih 10%. Karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara emerging market, meski dalam periode sama kurs rupiah baru terpangkas 7,7% (ytd) terhadap dolar AS, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah melakukan variasi langkah untuk mengamankan nilai tukar rupiah. Masalahnya, karena sekalipun depresiasi rupiah terendah di antara negara emerging market, karena menyentuh angka psikologis Rp15.000/dolar AS, mengganggu perasaan. Angka itu mengandung trauma historis seperti krisis moneter 1998. Padahal, pada 1998 angka itu meroket dari awal kurs Rp2.400 per dolar AS pada September 2017. Sedangkan pada 2018, kursnya bergerak dari Rp13.345 per dolar AS pada September 2017. Untuk itu, BI telah melakukan berbagai langkah stabilisasi nilai tukar, salah satunya intervensi ganda di pasar valuta asing. Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, hingga Selasa (5/9/2018), BI telah mengeluarkan Rp12,9 triliun baik di pasar valuta asing maupun membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. "Yang paling penting adalah menjaga tingkat depresiasi agar tidak overshoothing sehingga kalaupun terjadi depresiasi tidak mendadak, tapi secara gradual," ujar Perry. (Kompas.com, 5/9/2018). Di sisi lain, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan, antara lain sejak 1 September 2018 mengganti solar di SPBU dengan biodiesel (B20), sehingga mengurangi jumlah impor BBM. Juga untuk menekan impor, pemerintah telah menaikkan tarif pajak penghasilan impor atau PPH Pasal 22 terhadap 1.147 komoditas. Sebanyak 719 barang atau post tarif pajak impornya naik tiga kali lipat dari 2,5% menjadi 7,5%. Termasuk bahan bagungan (keramik), ban, peralatan elektronik, dan produk tekstil. Ada 218 komoditas naik empat kali lipat dari 2,5% menjadi 10%, semua masuk kategori barang konsumsi sebagian besar telah diproduksi dalam negeri seperti barang elektronik, keperluan sehari-hari, sabun, sampo, kosmetik, peralatan masak. Sedang 210 barang termasuk mobil CBU dan motor besar naik dari 7,5% jadi 10%. Namun, semua itu tentu tidak cukup tanpa dukungan segenap warga bangsa, seperti mengurangi penggunaan produk impor dan memanfaatkan produk dalam negeri.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar