IMPOR minyak mentah dan kondensat PT Pertamina (persero) tercatat turun hingga 50% sepanjang Januari hingga April 2019. Hal ini terjadi akibat dilakukannya penyerapan minyak mentah dan kondensat produksi domestik bagian kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan volume impor minyak mentah dan kondensat Pertamina pada periode Januari hingga April 2019 sekitar 25 juta barel. Angka ini turun drastis dibandingkan periode yang sama 2018 sekitar 48 juta barel. "Penurunan ini juga berdampak pada penurunan nilai biaya impor sebesar 1,4 miliar dolar AS atau ekuivalen lebih dari Rp20 triliun," ujar Fajriyah dikutip Kompas.com, Kamis (2/5). Penyerapan minyak mentah dan kondensat produksi domestik itu oleh Pertamina sesuai peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan dalam Negeri. Dalam aturan tersebut dinyatakan PT Pertamina dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak wajib mengutamakan pasokan minyak bumi yang berasal dari dalam negeri. Demikian pula kontraktor atau afiliasinya wajib menawarkan minyak bumi bagian kontraktor kepada Pertamina dan/atau badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak bumi. Dengan adanya peraturan menteri tersebut, disertai iktikad baik dari para kontraktor (KKKS), Pertamina bisa membantu mengurangi impor minyak sehingga berdampak pada penguatan cadangan devisa negara. Hingga minggu ketiga April 2019, lanjut Fajriyah, Pertamina telah melakukan kesepakatan untuk pembelian minyak dan kondensat dalam negeri sebanyak 137 ribu barel per hari yang berasal dari 32 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Pembelian minyak dan kondensat domestik yang paling berpengaruh adalah bagian dari eks PT Chevron Pacific Indonesia untuk jenis Duri dan SLC, yang jumlahnya mencapai 2 juta—3 juta barel per bulan. "Dengan pasokan tersebut saat ini Pertamina tidak lagi mengimpor minyak mentah jenis heavy dan super heavy dan hanya mengimpor jenis light dan medium crude," kata Fajriyah. Perkembangan baru ini tentu menggembirakan karena besarnya nilai impor BBM tahun lalu telah mengakibatkan defisit neraca perdagangan. Dengan langkah baru ini secara berturut Februari dan Maret 2019 neraca perdagangan RI berbalik menjadi surplus. Ini mendukung pengurangan impor BBM lewat program pemanfaatan biodiesel sawit (B20) dan penaikan PPH impor 1.147 barang konsumtif. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar