WAKIL Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid menegaskan pengerahan massa atau people power yang dilakukan dengan cara memaksakan kehendak untuk mengganti atau mengubah hal yang menjadi kesepakatan nasional, hukumnya haram. "People power yang dilakukan dengan cara memaksakan kehendak untuk mengganti atau mengubah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan nasional, baik yang tertuang di dalam undang-undang maupun konstitusi negara, menurut pendapat kami, hukumnya haram," kata Zainut Tauhid di kantor MUI, Jakarta, Jumat (17/5). Dia mengimbau warga tidak terprovokasi ajakan people power atau apa pun namanya. "Tadi dalam tausiah kami, salah satunya adalah mengimbau untuk tidak terprovokasi ajakan people power atau apa pun namanya yang sekarang diganti dengan aksi kedaulatan rakyat," ujar Zainut. Kecuali kalau aksi massa itu tidak ada niat untuk memaksakan kehendak, hanya unjuk rasa, menyampaikan aspirasi, tanpa ada tuntutan harus, saya kira itu adalah hak yang dilindungi konstitusi kita, lanjut Zainut. "Hak menyatakan pendapat, menyampaikan aspirasi, itu dilindungi undang-undang dan konstitusi kita. Tapi kalau dimaksudkan untuk memaksakan kehendak terhadap sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan nasional, itu haram hukumnya. Karena, orang muslim itu harus tunduk pada kesepakatan yang sudah dibuat bersama-sama," jelas Zainut Tauhid. Seirama, MUI Jabar meminta masyarakat daerahnya tidak ikut-ikutan gerakan people power. "Karena people power dalam sistem kenegaraan, untuk mengganggu sistem pemerintahan yang sah itu bisa disebut mengarah pada bugat, memberontak kalau dalam istilah fikih," ujar Ketua MUI Jabar Rachmat Syafei. "Jadi artinya people power yang dilakukan itu bisa dikenai haram. People power kalau inkonstitusional jadi termasuk bugat. Bugat itu dilarang dan harus diperangi. Bugat itu adalah haram. People power yang sama dengan bugat itu adalah haram," jelas Rachmat. (detiknews, 16-17/5/2019) Walau begitu, diharapkan tak ada penggerak people power menolak hasil pemilu 2019 yang mendorong massa menjurus tindakan pemberontakan. Sebab, pemberontakan menyengsarakan rakyat maupun kader yang partainya dianggap terlibat. Seperti pemberontakan PRRI, pemerintah meminta Partai Masyumi dan PSI mengutuk anggotanya yang terlibat. Akibatnya, kedua partai itu membubarkan diri 1960. Kasihan kader partai yang telah terpilih jadi anggota legislatif, kalau partainya divonis terlibat pemberontakan.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar