Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Berbeda, Mudik dan Pulang Kampung!


Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 28-04-2020
Berbeda, Mudik dan Pulang Kampung!
H. Bambang Eka Wijaya

MEME di facebooks Kamis (23/4) ramai diisi warganet tentang perbedaan mudik dan pulang kampung. Mudik dilarang, pulang kampung tidak, tulis sebuah meme.
Dalam prakteknya mudik dan pulang kampung memang berbeda. Lebih-lebih pulang kampung dalam episoda wabah korona dewasa ini.
Mudik, perjalanan mengunjungi keluarga dalam masa Lebaran. Bertemu muka dengan orang tua dan famili, silaturahmi dengan warga desa. Usai Lebaran kembali ke kota. Ciri perjalanan mudik pergi dan pulang, two way ticket.
Sedangkan pulang kampung one way ticket, cuma tiket menuju kampung saja. Tak ada tiket kembali ke kota. Pulang kampung pada episoda Covid-19 merupakan pengakuan gagal di rantau. Mereka menyerah, tak mampu bertahan hidup di kota. Tak ada lagi pekerjaan sebagai sumber penghidupan.
Pilihan untuk kembali ke desa, kebalikan dari urbanisasi, merupakan hak asasi setiap umat manusia untuk kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggalnya. (Deklarasi HAM Sedunia pasal 13 dan 14) Sehingga, pilihan pulang kampung sebenarnya tak bisa dilarang. Hak asasi harus dihormati.
Meski demikian, di masa pandemi Covid-19, demi keselamatan seluruh umat manusia tentu hak itu bisa dikecualikan. Namun dengan cara yang adil. Contohnya, larangan mudik yang dirilis presiden, sekalipun berlaku mulai 24 April, penerapan sanksinya baru efektif 7 Mei.
Keadilan dimaksud disyaratkan hingga presiden pun memberi tenggang waktu. Karena, di luar yang mudik, mayoritas warga yang pulang kampung itu korban dampak Covid-19.
Mereka tidak mampu bertahan karena keehilangan pekerjaan atau usaha. Sedang bansos yang sudah sekian lama dijanjikan, saat datang mereka tak dapat. Di Depok, RT/RW sudah mendaftar yang butuh 400 kk, saat datang hanya 190 paket, 210 kk tidak kebagian.
Warga bernasib malang seperti itu yang terpaksa pulang kampung. Sesampai desa mereka siap dilabeli ODP dan diisolasi di rumah kosong berhantu dekat kuburan. Tapi itu lebih baik daripada di kota hidup dengan pemimpin yang mulutnya berbusa janji memberi bantuan tapi bo-ong.
Oleh karena itu, setelah semua jalan ke luar kota diblokir sehingga tak ada lagi peluang orang pulang kampung, distribusi bantuan pangan harus dibereskan. Sebab lancar pun, bantuan itu jauh dari mencukupi: Kartu Prakerja Rp600 ribu untuk satu keluarga sebulan.
Garis kemiskinan saja Rp425.000 konsumsi per jiwa per bulan. Kalau satu keluarga dengan dua anak, hidup di level garis kemiskinan saja butuh Rp1,7 juta per bulan. ***

0 komentar: