DI Balai Kartini, Jakarta, Minggu (15/1/2017), digelar diskusi Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme, dengan pembicara antara lain Faisal Basri, Yudi Latif, pengamat intelijen Soeripto J Said, dan sejumlah pakar lainnya. Masalahnya, kenapa kebangkitan populisme disoroti seserius itu—diskusi di Balai Kartini?
Definisi populisme masih sulit ditemukan yang pas. Gambarannya ini, masyarakat tradisional Inggris yang resah pada sistem keuangan global karena tak berpihak pada kaumnya, berhasil memenangkan Brexit! Di Filipina, lebih 80% rakyat yang resah anaknya terpengaruh narkoba, mendukung Duterte memburu bandar narkoba dengan tembak di tempat.
Di AS, kelompok tradisional kulit putih yang resah dengan kemajuan pluralisme sehingga mendambakan kembali supremasi rasnya dengan diskriminasi dan intoleransi, berhasil memenangkan Donald Trump.
Lantas di Indonesia populisme apa yang meresahkan? Kayaknya dalam bentuk semakin maraknya kelompok-kelompok intoleran dalam masyarakat, yang justru di antara sesama kelompok intoleran itu saling berinteraksi dan berkonflik.
Masalahnya, konflik antarmereka itu meruyak di ruang publik dalam arti luas, dari ruang publik sarana komunikasi hingga menguasai lapangan tempat kegiatan masyarakat. Akibatnya, sudah terasa mengganggu kenyamanan hidup publik. Malah salah-salah bisa mengimbas ke warga publik, yang tak tahu ujung pangkal ceritanya.
Kaum intoleran menyelesaikan ketidaksamaan dengan dirinya lewat keroyokan. Hal itu tentu membuat orang-orang yang berbeda dengan mereka bingung, lebih-lebih yang melihat perbedaan sebagai karunia Ilahiah, merasa aneh ketika perbedaan di antara sesama manusia dinilai sebagai tanda permusuhan!
Celakanya, gejala populisme di masyarakat itu semakin lama justru terasa semakin nemen. Ruang publik di sarana komunikasi menjadi sarana saling ejek dan fitnah atas perbedaan alamiah yang justru memang sudah dari sono-nya! Ketika yang saling ejek di medsos itu ketemu di jalan, mereka berantem beneran! Sedihnya, itu terjadi di Jakarta, Bandung, dan belakangan merebak ke Kalimantan Barat.
Gejala populisme di diskusi itu disebut saat masyarakat merasa tidak puas dengan elite pemerintah dan mulai memercayai tokoh-tokoh (populis) yang cenderung konservatif dan antidemokrasi.
Dengan gejala intoleran dalam populisme di Indonesia yang sudah demikian meresahkan realitas bangsa yang bhinneka, bisa dipahami kalau diskusinya digelar di Balai Kartini! ***
Di AS, kelompok tradisional kulit putih yang resah dengan kemajuan pluralisme sehingga mendambakan kembali supremasi rasnya dengan diskriminasi dan intoleransi, berhasil memenangkan Donald Trump.
Lantas di Indonesia populisme apa yang meresahkan? Kayaknya dalam bentuk semakin maraknya kelompok-kelompok intoleran dalam masyarakat, yang justru di antara sesama kelompok intoleran itu saling berinteraksi dan berkonflik.
Masalahnya, konflik antarmereka itu meruyak di ruang publik dalam arti luas, dari ruang publik sarana komunikasi hingga menguasai lapangan tempat kegiatan masyarakat. Akibatnya, sudah terasa mengganggu kenyamanan hidup publik. Malah salah-salah bisa mengimbas ke warga publik, yang tak tahu ujung pangkal ceritanya.
Kaum intoleran menyelesaikan ketidaksamaan dengan dirinya lewat keroyokan. Hal itu tentu membuat orang-orang yang berbeda dengan mereka bingung, lebih-lebih yang melihat perbedaan sebagai karunia Ilahiah, merasa aneh ketika perbedaan di antara sesama manusia dinilai sebagai tanda permusuhan!
Celakanya, gejala populisme di masyarakat itu semakin lama justru terasa semakin nemen. Ruang publik di sarana komunikasi menjadi sarana saling ejek dan fitnah atas perbedaan alamiah yang justru memang sudah dari sono-nya! Ketika yang saling ejek di medsos itu ketemu di jalan, mereka berantem beneran! Sedihnya, itu terjadi di Jakarta, Bandung, dan belakangan merebak ke Kalimantan Barat.
Gejala populisme di diskusi itu disebut saat masyarakat merasa tidak puas dengan elite pemerintah dan mulai memercayai tokoh-tokoh (populis) yang cenderung konservatif dan antidemokrasi.
Dengan gejala intoleran dalam populisme di Indonesia yang sudah demikian meresahkan realitas bangsa yang bhinneka, bisa dipahami kalau diskusinya digelar di Balai Kartini! ***
0 komentar:
Posting Komentar