Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Usaha Atasi Darurat Kebinekaan!

USAHA Presiden Joko Widodo mengatasi darurat kebinekaan berlanjut dengan menemui Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Istana Negara, Rabu (18/1/2017) pagi. Sebelumnya Presiden bertemu dengan bebagai pihak, antara lain Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siradj dan para pakar antropolog.
Seusai pertemuan, perwakilan PGI terdiri dari Ketua Umum Henriette Tabita Hutabarat, Ketua Albertus Patty, dan Sekretaris Umum Gomar Gultom memberi keterangan. "Kami membahas agar masalah intoleransi bisa diatasi. Bapak Presiden tadi mengatakan itu sedang dikerjakan. Peranan semua kelompok masyarakat sangat penting, kata Henriette. (detiknews, 18/1/2017)
Gomar Gultom menambahkan Jokowi bersama jajarannya akan berusaha mengatasi masalah intoleransi ini. Akar masalah intoleransi adalah kesenjangan sosial dan pendidikan. "Maka pemerintah berusaha mengurangi kesenjangan dan melakukan pendekatan pemerataan (ekonomi)," kata Gomar.
Pendidikan terkait kebinekaan juga akan dikuatkan, terutama pada level pendidikan dasar. PGI akan mendukung penguatan pada kedua aspek itu, yakni ekonomi dan pendidikan. "Melalui sekolah-sekolah. Pendidikan kebinekaan agar dijunjung tinggi," ujarnya.
Namun, Albertus Patty menyatakan konflik bernuansa intoleransi terjadi tidak hanya dilatarbelakangi ekonomi dan pendidikan, tetapi juga ada instrumen agama demi kepentingan politik. Meskipun demikian, Jokowi dinyatakan Albertus tak menyebut pihak yang berbuat demikian.
"Beliau katakan, di balik peristiwa (intoleransi) ini, perlu dana banyak sekali. Jadi masyarakat harus kritis. Kelihatannya ada nuansa agama, tapi ternyata tidak," tutur Albertus.
Hal-hal itu tengah didalami TNI sebagai dasar menghadapi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bertentangan dengan Pancasila, dengan arogansi dan kegemaran memaksakan kehendak lewat tekanan kekerasan dan massa.
Sejalan dengan itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan arogansi dan pemaksaan kehendak dengan tekanan kekerasan massa itu tidak dapat dibenarkan. "Dalam alam demokrasi sekalipun, tidak boleh ada pihak yang memaksakan kehendak," ujar Pramono. (Kompas.com, 17/1/2017)
Apalagi kalau sikap semacam itu diiringi ujaran kebencian, fitnah, dan tindakan kekerasan yang dapat berakibat mengganggu ketertiban. Indonesia negara majemuk, terdiri dari beragam budaya, etnis, bahasa, dan agama. Karena itu, dibutuhkan sikap toleransi agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi harmonis. ***

0 komentar: